Dalam konsep ekonomi wilayah, keterkaitan antara aspek ekonomi dengan aspek spasial meunjukkan adanya kausalitas yang cukup besar terhadap pertumbuhan suatu wilayah. Letak suatu wilayah dan peruntukkan di dalamnya akan mempengaruhi kondisi perekonomian masyarakat dan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut.
Sidoarjo merupakan salah satu basis industri kawasan Gerbangkertasusila yang dijuluki Kota Delta. Basis perindustrian tersebut dapat terlihat melalui banyaknya pabrik yang berdiri di kota ini. Umumnya, pabrik berada di wilayah bagian utara dan bagian timur, seperti Krian, Waru, Kota Sidoarjo, dan Gedangan. Adanya industri skala besar ini turut berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan kependudukan di Sidoarjo. Industri tersebut terdiri atas industri makanan dan minuman, tekstil, manufaktur, kimia, otomotif, elektronik, kerajinan, hingga konstruksi.
PDRB Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan, dari 141 triliun rupiah pada tahun 2021 menjadi 151,61 triliun rupiah pada tahun 2022 (BPS, 2023). Hal ini menunjukkan selama tahun 2022 terjadi percepatan pertumbuhan ekonomi Sidoarjo sebesar 7,53 %. Peningkatan PDRB atas dasar harga konstan disebabkan oleh meningkatnya produksi beberapa lapangan usaha.
Besarnya peranan berbagai sektor ekonomi dalam produktivitas barang dan jasa sangat menentukan struktur perekonomian di Sidoarjo. Struktur tersebut terbentuk dari marginalitas yang diciptakan setiap lapangan usaha untuk menggambarkan seberapa besar interdependensi suatu daerah terhadap kemampuan produksi dari setiap lapangan usaha.
Selama rentang tahun 2028-2022, struktur perekonomian Kabupaten Sidoarjo selalu didominasi oleh tiga sektor, yaitu industri pengolahan, perdagangan grosir dan eceran, serta reparasi mobil dan sepeda. Sektor industri memiliki peranan besar dalam pembentukan PDRB Sidoarjo yang mencapai lebih dari setengah pendapatan domestik daerah ini. 122,67 triliun PDRB Kabupaten ini ditunjang oleh sektor industri pengolahan.
Ditinjau secara ekonomi kewilayahan, pembangunan industri di Sidoarjo memiliki keterkaitan dengan letak geografis wilayah. Sidoarjo dijuluki "Kota Satelit" atau "Kota Pinggiran" Â yang menopang kawasan Metropolitan Gerbangkertasusila atau Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan. Kawasan ini merupakan pusat pertumbuhan ekonomi terbesar ke-2 di Indonesia setelah Metropolitan Jabodetabek.
Penentuan lokasi industri di Sidoarjo didasarkan pada beberapa teori konvensional. Akan tetapi, tidak sepenuhnya teori tersebut relevan dengan perindustrian di Sidoarjo. Sesuai teori susut barang dan ongkos kirim August Losch, Sidoarjo menjadi wilayah potensial bagi pendirian pabrik makanan dan minuman karena masih dalam satu kawasan dengan Bandara Djuanda yang merupakan bandara internasional tersibuk ke-3 setelah Bandara Soekarno-Hatta dan Bandara I Gusti Ngurah Rai. Efisiensi jarak antara market dengan pabrik berpengaruh besar dalam melakukan optimalisasi penekanan biaya produksi.
Ditinjau melalui teori lokasi industri Alfred Weber, dapat dianalisis tiga variabel pembentuk keruangan industri di Sidoarjo, yaitu tenaga kerja, bahan baku, dan konsumen. Variabel tersebut juga berpengaruh terhadap jenis industri yang akan dikembangkan di wilayah tersebut.
Contoh industri yang berorientasi pada tenaga kerja adalah industri di wilayah Gedangan dan Sidoarjo Kota. Kawasan perindustrian tersebut mementingkan aspek permintaan akan labour untuk memenuhi kebutuhan produksi karena wilayah tersebut merupakan wilayah padat penduduk. Oleh karena itu, mayoritas industri yang terbentuk adalah industri padat karya.
Contoh lain adalah pengaruh variabel bahan baku yang berpengaruh terhadap pembentukan industri. Industri tersebut umumnya adalah industri yang memiliki bahan baku rawan susut serta biaya ongkos angkut yang tinggi, seperti industri gas yang pernah berdiri, yaitu PT Lapindo. Akan tetapi, industri tersebut telah tutup akibat bencana lumpur lapindo 2006.
Varibael konsumen memiliki peranan cukup besar terhadap perkembangan industri di Kabupaten Sidoarjo, khususnya wilayah utara yang berbatasan dengan Kota Surabaya. Kondisi tersebut dilaterbelakangi oleh keterkaitan keruangan dengan aspek ekonomi dalam hal kebutuhan penduduk dan aktivitas konsumtif. Sebagai pendukung kota besar seperti Surabaya, penempatan industri pada perbatasan kota dirasa efektif untuk mencapai market dan memperoleh multiplier effect dalam hal produktivitas barang dan jasa.