Pendidikan merupakan salah satu pilar sebuah negara. Banyak hal yang berakar dari pendidikan. Pendidikan juga termasuk salah satu penentu bagaimana paras suatu negara dilihat oleh mata seluruh penduduk dunia.Â
Pendidikan sangat berperan penting dalam kehidupan seseorang karena akan sangat mempengaruhi banyak aspek kehidupan diantaranya yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek kebudayaan. Dari hal tersebut sudah selayaknya kita melek akan pentingnya pendidikan. Tingkatan pendidikan dimulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi: SD, SMP, SMA, perguruan tinggi.
Peran pemerintah di sini sangat penting, bagaimana strategi dan sistem apa yang terbaik untuk memajukan dunia pendidikan agar nantinya suatu negara memiliki sumber daya manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan negara lain.
Beberapa minggu ini dunia pendidikan sedang ramai membicarakan di televisi maupun media sosial lain mengenai diubahnya sistem penerimaan mahasiswa di tahun 2023 nanti. Tentunya hal ini sangat mengejutkan banyak siswa khususnya siswa yang kini tengah duduk dibangku kelas 12 SMA dan juga siswa yang sedang menunda kuliah atau gap year karena berbagai faktor, salah satunya yaitu karena mereka gagal di ujian SBMPTN tahun lalu dan tahun ini.
Pengumuman diubahnya sistem ini dirilis pada awal bulan September 2022 yang tentunya cukup menggemparkan. Hastag SBMPTN dan SNMPTN langsung menduduki urutan teratas di kolom trending twitter setelah pengumuman itu dirilis. Beragam cuitan dari berbagai kalangan masyarakat meramaikan topik tersebut. Perubahan yang dilakukan oleh kemdikbudristek ini bukan tanpa suatu alasan, disebutkan bahwa Kemdikbudristek tidak ingin lagi ada tembok pembatas antara jurusan SAINTEK dan SOSHUM yang dinilai menjadi penghalang siswa untuk meraih program studi di perguruan tinggi negeri.
Perubahan ini terletak pada materi yang akan diujikan tanpa TKA (Tes Kemampuan Akademik) yang merupakan tes yang isinya materi yang dipelajari semasa duduk di bangku SMA, jadi disistem yang baru ini akan hanya TPS.
Tidak sampai disitu, perubahan nama tes, pihak penyeleksi, nama-nama subtes yang diujikan, sistematika tes yang juga diubah total. Dimulai dari tes yang awalnya bernama SBMPTN diubah menjadi SNBT (Seleksi Nasional Berdasarkan Tes). Pada tahun sebelumnya, subtes yang diujikan terdiri dari TKA dan TPS, dimana TPS terdiri dari penalaran kuantitatif, pemahaman bacaan dan penulis, pengetahuan danpemahaman umum, penalaran umum, dan Bahasa inggris. Sekarang subtes tersebut diganti menjadi potensi kognitif, penalaran matematika, literasi dalam Bahasa Indonesia, dan literasi Bahasa inggris. Setiap peserta bisa melakukan tes sebanyak 2 kali di SNBT ini, padahal di tahun sebelumnya hanya diberikan kesempatan 1 kali.
Sedangkan pada SNMPTN Â yang berubah nama menjadi SNBP. Seleksi ini pada awalnya berdasarkan raport siswa yang fokus pada mata pelajaran peminatan, Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris serta beberapa program studi yang membutuhkan portofolio maupun sertifikat pendukung, pada aturan terbaru ini nilai seluruh pelajaran ikut dipertimbangkan.
Selain nilai mata pelajaran peminatan, hanya dimaksimalkan 2 mata pelajaran pendukung program studi dan/ atau prestasi dan/atau portofolio (bidang seni dan olahraga).
Pada seleksi mandiri di peraturan yang baru ini pihak kampus diminta untuk menunjukkan transparasi kepada masyarakat. Transparasi ini berupa berapa kursi yang masih tersisa dalam setiap program studi, besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh calon mahasiswa, dan juga bagaimana sistematika penerimaan calon mahasiswa. Karena di tahun sebelumnya telah terjadi penyalahgunaan dijalur mandiri dan sempat menghebohkan masyarakat mengenai besaran biaya pada jalur mandiri di sebuah universitas negeri yang menyebabkan rektor dari sebuah universitas masuk bui.
Masyarakat juga harus mengawasi jalannya penerimaaan mahasiswa baru agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pihak penyelenggara dan penanggung jawab di penerimaan mahasiswa baru 2023 juga digantikan oleh Balai Pengelolaan Pengujian Pendidikan (BP3), padahal sebelumnya oleh Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT).
Namun, setiap permasalahan pasti ada solusinya, berdasarkan permasalahan atau isu yang sudah dipaparkan diatas terdapat salah satu solusi yaitu pada tahun 2023 sistem penerimaan mahasiswa baru tetap menggunakan sistem yang diterapkan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Mengapa demikian? Karena diumumkannya perubahan ini dinilai terlalu mendadak, mereka yang ingin mengikuti tes ini terlanjur mempersiapkan diri sesuai dengan kebijakan yang diterapkan ditahun 2022. Karena mereka sadar bahwa seleksi masuk perguruan tinggi negeri sangatlah ketat dan sulit, karena itulah mereka menyiapkan diri mereka sedini mungkin.
Pastinya banyak persiapkan seperti mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk bimbel, membeli buku-buku persiapan tes yang harganya sangat mahal. Dimana di dalam buku-buku tersebut tipe-tipe soalnya seperti tahun-tahun sebelumnya dan sekarang tipe soal tidak sama dengan tahun-tahun sebelumnya sehingga mau tidak mau harus membeli buku lagi untuk mendalami tipe soal yang sesuai dengan yang akan diujikan diseleksi tahun 2023.
Perlu diketahui bahwa tidak semua orang memiliki ekonomi yang berada, untuk calon peserta yang memiliki ekonomi pas-pasan hal ini akan membuat mereka merasa rugi, apalagi mengingat dampak dari Covid-19 masih bisa dirasakan.
Lalu seseorang yang melakukan gapyear rela menunda kuliah demi mendapatkan program studi dan kampus impian akan merasa bingung karena mereka telah mempersiapkan kebijakan tes seperti tahun sebelumnya.
Tes yang diujikan pada kebijakan baru hanya TPS saja, bukan semakin mudah tapi tipe soal akan semakin sulit. Namun, hal ini bertolak belakang dengan hanya diujikannya TPS di SNBT, peserta akan semakin banyak, karena banyak yang berpikir TPS saja akan mudah dan tidak perlu mempelajari materi secara khusus. Sehingga nanti akan banyak dari peserta yang sudah menjadi mahasiswa mengikuti lagi seleksti tes dengan alasan ingin mencoba-coba.
Mereka yang penasaran ini bisa jadi lolos namun tidak mengikuti daftar ulang dan hal ini pasti akan merugikan orang-orang yang serius ingin masuk program studi tersebut. Walaupun setiap peserta diberi kesempatan 2 kali, tetap saja hal ini akan merugikan waktu dan tenaga peserta.
Beberapa solusi dari isu tersebut yaitu sistem penerimaan tahun 2023 disamakan seperti tahun 2022. Kebijakan baru ini bisa dilakukan di tahun 2024 agar peserta bisa menyiapkan diri, mental, dan finansial.
Selain itu perlu adanya sosialisasi lebih lanjut dari pihak penyelenggara terkait dengan kebijakan baru ini kepada calon peserta, pastinya calon peserta sudah terlanjur dan memahami bagaimana penerimaan mahasiswa baru ini berdasarkan sistematika yang berjalan sebelumnya. Sehingga mereka seperti masih kebingungan dan ketakutan karena adanya kebijakan baru yang sangat mendadak.
Dikhawatirkan calon peserta tidak fokus belajar karena terlalu takut mengenai kebijakan baru ini yang pastinya membuat mental mereka tidak stabil.
Untuk mencegah peserta yang tidak bertanggung jawab seperti tidak melakukan daftar ulang, pihak penyelenggara (BP3) harus melakukan batasan daftar ulang secepatnya agar tidak merugikan banyak pihak.
Disamping itu, pihak kampus bisa menerapkan peserta cadangan agar jika terdapat peserta yang lolos dan tidak melakukan daftar ulang, kuota yang seharusnya bisa diisi dengan peserta cadangan. Peserta cadangan ini memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan peserta yang lolos.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H