Mohon tunggu...
Berlian Ike Wulandari
Berlian Ike Wulandari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa ilmu komunikasi Universitas negeri Surabaya

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Konstruksi Gender dalam Cerita Rakyat Indonesia: Representasi Tokoh Perempuan dalam Cerita

7 April 2024   21:53 Diperbarui: 7 April 2024   22:30 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Gender dapat didefinisikan sebagai perbedaan dalam hak, peran, fungsi, tanggung jawab, dan perilaku antara laki - laki dan perempuan yang dibentuk oleh budaya dan tata nilai sosial suatu kelompok masyarakat (Kartini & Maulana, 2019). Menurut Kartini & Maulana (2019) pula, gender memiliki perbedaan arti dengan jenis kelamin. 

Jenis kelamin merupakan perbedaan secara biologis yang ditandai dengan alat reproduksi yang barasal dari kodrat Tuhan. Sedangkan gender merupakan perbedaan yang diciptakan melalui interaksi sosial dan menjadi budaya dalam masyarakat. Dalam realitas sosial, sesuai dengan pengertian dari gender, bahwa terdapat adanya perbedaan peran, hak, dan kewajiban antara laki- laki dan perempuan. 

Artinya, terdapat batasan batasan tertentu yang membedakan antara laki-laki dan perempuan yang disepakati oleh masyarakat sebagai suatu identitas gender. Misalnya seperti cara mereka seharusnya berperilaku, berinteraksi, dan berperan dalam masyarakat. Dari hal tersebut, kemudian terdapat istilah maskulin dan feminin. 

Menurut Natalie & Julia T.Wood  dalam buku Gendered Lives Communication,Gender, & Culture, feminin sering kali dikaitkan dengan sifat seperti kelembutan, empati, perawatan, dan peka terhadap orang lain. Sedangkan maskulin, dihubungkan dengan sifat dominan atau dominasi, kekuatan fisik, dan keberanian.

Namun, secara realitas sosial sebenarnya sifat feminin dan maskulin tersebut dapat bersifat dinamis. Maksudnya, seperti misalnya seorang pria bisa saja memiliki sifat feminin dalam dirinya seperti empati, kelembutan, dan peka terhadap orang lain, begitu pun sebaliknya, perempuan dapat pula memiliki sifat maskulin seperti dominan dan berani. Namun hal tersebut kembali lagi pada stigma dan budaya masyarakat setempat, apakah kelompok masyarakat setempat telah terbuka dengan sifat tersebut atau belum. 

Dalam pembentukan  stigma masyarakat  yang kemudian menjadi budaya ini, interaksi antar individu lah yang mempengaruhinya. Baik berasal dari ajaran dan pembiasaan turun temurun secara langsung maupun penggambaran melalui hal- hal kecil di sekitar kita. Misalnya dalam cerita rakyat yang selalu diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Dalam cerita rakyat, khususnya di Indonesia merupakan warisan budaya yang kaya akan nilai, norma, dan konstruksi sosial. 

Hal ini membuat cerita rakyat menjadi media pembentuk konstruksi gender, yang ditunjukkan dalam penggambaran tokoh pada alur cerita rakyat. Penyampaian yang turun temurun ini, secara tidak langsung merupakan penyampaian ajaran dan nilai sosial dari generasi nenek moyang atau generasi yang lebih tua, ditujukan untuk generasi muda agar menerima pesan yang akan menjadi bekal moral bagi generasi muda. 

Namun, secara implisit, hal tersebut menjadi acuan bagi individu yang membaca cerita rakyat mengenai interpretasi sebagai seorang laki-laki yang benar dan sesuai adalah berdasarkan seperti cerita rakyat tersebut. Begitu pula perempuan.  

Indonesia kaya akan cerita- cerita rakyat tradisional yang berasal dari setiap daerah di indonesia. Dalam banyak cerita, tokoh perempuan kebanyakan digambarkan dengan sosok yang menjadi pusat pencitraan (Putra, 2018). Perempuan di tempatkan dalam dua kategori penting yaitu sebagai sosok keindahan atau kecantikan dan subyek kekuasaan laki-laki. 

Perempuan dalam konteks sosial juga dikonstruksikan sebagai seorang yang feminin dan lemah yang tugasnya adalah urusan domestik keluarga. Dari kelemahan tersebut menjadi alasan mendasar bagi laki-laki untuk mengeksploitasi keberadaan perempuan sehingga menempatkannya dalam posisi marginal. Menurut Putra (2018), peran tokoh perempuan yang selalu ditempatkan sebagai objek yang lemah dan tertindas merupakan tanda dari budaya patriarki yang kuat dalam masyarakat.

Sebagai contoh salah satu cerita rakyat yang didalam nya dapat dianalisis bentuk -- bentuk konstruksi gender yang di interpretasikan adalah cerita rakyat Ande -- Ande Lumut. Cerita tersebut mengisahkan tentang terpisahnya Raden Putra  dan Dewi Candrakirana akibat dihukumnya Raden Putra oleh ayahnya, Lembu Amiluhur yang merupakan raja Kerajaan Jenggala. Setelah pernikahan Raden Putra dengan Dewi Candrakirana, Lembu Amiluhur menginginkan putranya, yaitu Raden Putra untuk naik tahta menggantikannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun