Penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK menuai banyak kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Bukan hanya masyarakat awam yang mempertanyakan netralitas KPK, para praktisi hukum, akademisi pun tidak ketinggalan menyampaikan berbagai kritik pada KPK.Â
Kita mungkin ingat salah satu kritik pada KPK yang paling menyita perhatian pernah datang dari Adnan Buyung Nasution, advokat senior Indonesia dan aktivis HAM yang ikut menjadi perumus undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang hingga saat ini masih digunakan oleh KPK. Saat itu, Adnan Buyung yang diwawancarai oleh Karni Ilyas di TVOne menyampaikan kegusarannya pada arogansi KPK yang menangani kasus-kasus tanpa kejelasan sehingga membuka peluang pada kesewenang-wenangan negara. Adnan menyebut cara KPK ini sebagai "the arrogance of power".
Kritik pada KPK tidak hanya sampai di situ. Dalam pemberitaan Koran Sindo Rabu (31/10) muncul sebuah tulisan yang berjudul "Penegak Hukum Jangan Ciptakan Kejahatan" yang ditulis oleh Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti dan Anggota Panitia Seleksi Pembentukan KPK serta Anggota Tim Perumus UU Tipikor.
Dalam tulisannya tersebut, Andi Hamzah menyampaikan kritikannya pada cara kerja KPK yang dipandangnya seperti melakukan kejahatan baru dalam upaya penegakan hukum. Sebagai sorotan, Andi Hamzah menyoal penangkapan Irman Gusman, Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Irman Gusman didakwa KPK menerima suap dalam pengurusan pembelian gula impor di Perum Bulog.
Kritik Andi Hamzah dilakukannya pada empat poin berikut. Poin pertama, paradigma kerja KPK dan etika penegakan hukum yang KPK lakukan. Saat ini, menurut Andi Hamzah, KPK tidak lagi bekerja dengan paradigma preventif untuk mencegah sebuah tindakah koruptif terjadi. Cara kerja KPK saat ini tampak lebih pada upaya menangkap basah pelaku di saat KPK sendiri sudah melihat adanya indikasi tindak pidana. Dalam tulisan tersebut Andi Hamzah mengatakan, ini bukanlah hal yang benar secara moral dan etika.
Lebih lanjut lagi, pada kasus Irman Gusman, Andi Hamzah mengatakan dakwaan KPK didasarkan pada tindakan Memi yang memberikan sejumlah uang pada Irman Gusman. Sebab menurut pikiran Memi, Irman Gusman yang menduduki jabatan yang berhubungan dengan urusan distribusi gula. Padahal Irman tidak pula memiliki kewenangan yang berhubungan dengan urusan distribusi gula.Â
Dengan kata lain, pikiran Memi bahwa pemberian tersebut ada hubungannya dengan jabatan Irman adalah pikiran yang salah. Pikiran yang benar semata pun tak bisa dijadikan landasan hukum, apalagi pikiran yang salah. Sebab, jika seseorang patut dihukum karena pikiran yang salah dari orang lain, maka akan semakin kacau dunia penegakan hukum di negeri kita. Dikutip dari Sindo (31/10)
Kritik kedua dilakukan Amir Hamzah pada kerancuan terminologi operasi tangkap tangan (OTT). Menurut Amir, hukum Indonesia memang telah mengatur mengenai tangkap tangan atau TT. Tetapi, dalam kasus Irman ia tidak ditangkap basah. Irman tidak ditangkap tangan sehingga tidak bisa dikatakan kena OTT sebab KPK sudah menyadap telepon genggamnya selama berbulan-bulan, artinya sudah diketahui jauh sebelum kejadian penyuapan.
Kritik Amir Hamzah ini mengingatkan saya pula pada kritik pada KPK yang dilakukan Romli Artasasmita, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Pajajaran. Dalam tulisannya yang juga dimuat dalam Sindo, ia mengungkapkan upaya-upaya yang dilakukan KPK dalam mendapatkan bukti (termasuk yang disebut sebagai "tangkap tangan" atau TT) seringkali menyalahi prinsip TT dalam KUHP atau dengan kata lain merupakan upaya perolehan bukti yang ilegal.
Kritik ketiga pada cara kerja KPK yang tidak lagi mengindahkan fakta-fakta dan berperilaku layaknya kantor berita. KPK kerap menggelar konferensi pers untuk mengumumkan "tangkapan" seperti yang terjadi pada kasus Irman. Masih dalam media yang sama, Amir Hamzah mempertanyakan:
KPK bukanlah organisasi media massa, bukan televisi, bukan surat kabar, yang tugasnya memublikasikan berita. KPK menyebabkan multiple punishments pada orang yang sedang mengalami proses hukum. Kalau tujuannya untuk menangkap seseorang yang dicurigai melakukan suatu tindak pidana, mengapa harus memublikasikannya sehingga mempermalukan orang tersebut berikut keluarganya?
Pola yang dilakukan KPK ini mengingatkan saya pula pada kasus SKL BLBI, saat pengacara Syafruddin Arsyad Temenggung sempat bersitegang dengan KPK dalam proses peradilan. Diberitakan di Jawa Pos, saat itu pengacara SAT, Ahmad Yani, dalam salah satu kesempatan menyampaikan protesnya pada pimpinan KPK dan humas KPK yang bermain opini dalam kasus yang masih disidangkan. Padahal, menurut pengacara SAT, KPK seharusnya mendasarkan segala sesuatunya pada fakta-fakta.
Kritik keempat yang disoroti Andi Hamzah ada pada paradigma masyarakat yang sudah menganggap lembaga hukum seperti KPK sebagai lembaga yang super sehingga apapun yang dilakukan KPK selalu benar.
Repotnya, lembaga penegakan hukum semacam KPK ini sudah dianggap super, tidak bisa salah, apa pun yang dilakukannya pasti benar, tidak cacat hukum. Masyarakat sudah membelanya habis-habisan sehingga apabila ada orang yang mengeluarkan kritikan, maka orang itu pasti digempur dari segala penjuru.Â