Mohon tunggu...
Hukum

Dua Pertanyaan Besar yang Tidak Terjawab dari Persidangan Kasus SKL BLBI

30 Agustus 2018   00:38 Diperbarui: 30 Agustus 2018   00:59 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Padahal, kesengajaan ini perlu dibuktikan. Mengapa SAT sebagai pelaku sengaja melakukannya? Apa yang menjadi latar belakang? Kalau ia memperkaya diri sendiri, berapa jumlah uang yang diambil?

Audit yang tidak memenuhi asas asersi

Andi Hamzah kemudian juga meragukan adanya unsur actus reus atau 'perbuatan yang melawan hukum'. Ia menunjuk pada Audit BPK tahun 2002 yang menyatakan tidak ada kerugian negara dan audit BPK 2006 yang menyimpulkan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan.

"Kalau begitu, perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak ada. Tidak ada kerugian negara. Di mana unsur pasal 2 UU Tipikor (perbuatan) itu?" seperti yang diberitakan di Akurat, Andi Hamzah lalu menunjuk adanya audit yang baru, yakni audit BPK 2017 yang menyatakan ditemukannya potensi kerugian negara. 

Audit ini tentu menimbulkan kerancuan. "Mana yang dipegang? Apakah yang dulu atau yang sekarang?" Pertanyaan ini dijawabnya sendiri, "Tentu yang dulu! Kan perbuatan dilakukan waktu dulu." Pengutamaan audit 2002 dan 2006  ini selaras dengan keterangan saksi ahli lain  Eva Achjani Zulfa, akademisi dan ahli hukum pidana. 

Seperti diberitakan Inilah, Eva Achjani Zulfa mengatakan hasil pemeriksaan yang paling mendekati tempus delicti (saat tindak pidana dilakukan) yang memiliki nilai pembuktian lebih tinggi. Jadi jika harus dipertentangkan, hasil audit BPK di tahun 2002 dan 2017, hasil audit BPK 2002 memiliki nilai pembuktian lebih tinggi dibandingkan audit di tahun 2017. 

Padahal audit BPK tahun 2017 inilah yang dijadikan dasar menyeret, mempersangka, dan kemudian mendakwa SAT dengan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain dan merugikan kerugian negara. Audit ini mendapat sorotan kencang dan dipermasalahkan keabsahannya sebab tidak memenuhi tiga unsur pemeriksaan. 

Unsur pemeriksaan ini adalah: Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK, karena harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK. Kedua, pemeriksaan juga harus memperhatikan dan menjadikan standar pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN). 

Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, kata dia, mewajibkan pemeriksa, yakni auditor, memeriksa entitas yang diperiksa. Selain itu, yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK.

Ketiga unsur pemeriksaan inilah yang membuat audit 2017 kontroversial karena disusun atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan data-data yang telah disiapkan dan disodorkan KPK. Audit ini terasa janggal sebab mengingkari asas asersi, asas pemeriksaan yang tercantum dalam UU BPK. 

Dalam laporan investigasi BPK 2017 ini, BPK juga tidak memeriksa entitas yang diperiksanya. Ibaratnya pemberitaan, audit 2017 tidak bersusah-susah "cover both sides". Ini sempat jadi sorotan berbagai pihak---mereka mempertanyakan metode audit yang sudah dilakukan BPK dan profesionalisme BPK dalam memproses audit tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun