Mohon tunggu...
Hukum

Kasus SKL BLBI, Di Mana Posisi Pemerintah?

5 Agustus 2018   22:16 Diperbarui: 5 Agustus 2018   22:42 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya pernah membaca, salah seorang pengusaha media di Indonesia mengatakan Indonesia memiliki 3 permasalahan utama untuk mendongkrak kenaikan investasi---masalah yang akan kita hadapi cepat atau lambat. 

Masalah yang pertama adalah ketersediaan tenaga kerja yang memadai, masalah kedua adalah infrastruktur, dan yang terakhir adalah masalah perizinan dan kepastian hukum. Ya, masalahnya banyak ya.

Masalah pertama dan kedua saling mempengaruhi. Si Poniyem contohnya, seorang profesor ilmu perkapalan sudah sejak lama meneliti struktur kapal. Sayangnya ia belum sekalipun ia melihat kapal---sebab daerah dan universitasnya yang miskin tidak mampu membangunkan kapal. Sampai kapan pun apa yang Poniyem miliki tidak akan berguna---kalau kata ahli bahasa seperti kera diberi kaca---tak berfaedah!

Pembangunan manusia dan tenaga kerja tanpa pembangunan infrastruktur adalah mimpi kosong. Pembangunan berbagai fasilitas industri tanpa mengakselerasi standar tenaga kerja Indonesia layaknya membangun sebuah fasilitas canggih tanpa tahu siapa yang bisa mengutilisasi. Jadi, pembangunan keduanya berkesinambungan. Yang satu tidak bisa ditinggalkan ketika yang satunya dikembangkan.

Masalah ketiga, yaitu kepastian hukum juga urgent untuk dicermati tetapi sayangnya masalah ini luar biasa ruwet. Urgent, sebab kita tentu tidak mau pembangunan infrastruktur yang sedang digiatkan saat ini nyatanya hanya berakhir sia-sia ketika tidak ada investor yang tertarik berinvestasi. Bagaimana pun, modal yang dikeluarkan harus kembali. 

Bagaimana bisa kita membuka lahan tapi tidak ada yang menyewa? Ujung-ujungnya sama, nirfaedah! Saya katakan ruwet, ya karena ruwet. Ada banyak pihak yang terkait, otoritas seringkali tumpang tindih, dan saat kesalahan implementasi kebijakan terjadi, semua pihak enggan mengambil sikap.

Masalah kepastian hukum ini tidak hanya mempegaruhi investor dan pengusaha. Salah seorang pengusaha Indonesia, Sjamsul Nursalim contohnya yang sedang tersandung dengan masalah tidak adanya kepastian hukum di Indonesia setelah SKL BLBI yang ia terima digugat kembali oleh KPK. Sebagai langkah mencari keadilan, Sjamsul Nursalim ternyata menyurati Presiden Joko Widodo secara langsung. Tujuannya, untuk meminta pemerintah menjelaskan pada KPK bagaimana dan apa yang sebenarnya terjadi. 

Otto Hasibuan, pengacara Sjamsul memaparkan, "Pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK tentang hal yang sebenarnya. Kami bukan minta pemerintah untuk intervensi tapi hanya minta klarifikasi bahwa kasus ini sudah selesai. KPK itu bagian dari pemerintah. Jangan sampai pemerintah sudah jamin tidak akan mengusut tapi diusut. Jangan sampai ada negara di dalam negara," seperti dikutip dari Republika.

Otto Hasibuan bukannya ingin pemerintah melakukan intervensi. Yang dicari Sjamsul saat ini sebenarnya adalah di mana posisi berdiri pemerintah di dalam kasus ini? Kepastian hukum adalah koentji, dan pemerintah hingga kini tidak bisa memberikan itu. 

Yang lucu, pemerintah sendiri sudah dengan gamblang menyatakan SKL ini sah. Hal ini pernah disampaikan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata. 

"Itu sudah dibayar aset dan tunai sesuai kewajiban. Makanya SKL terbit. Pada prinsipnya ketika SKL terbit, maka itu sesuai dengan syarat dan ketentuan BPPN untuk menerbitkan SKL," ujar Isa seperti dilansir oleh Okezone. Pemerintah, menurut Isa, sebenarnya sudah konsisten dengan kebijakan yang diambil karena waktu itu obligor telah kooperatif dan mau menyelesaikan kewajiban, meski penegak hukum menilai terdapat indikasi kurang bayar. 

Namun, pemerintah merespons surat Sjamsul dengan bergeming. Jadi, Bapak Isa bilang pemerintah konsisten mengatakan kasus ini sudah selesai, KPK mengatakan SKL ini tidak sah, Boediono mengatakan SKL sudah sesuai dengan syarat keluarnya, tapi Bapak Presiden bilang tidak mau intervensi. Lho? Maharuwet, bukan? 

Sebagai eksekutif, lucu kalau sekarang pemerintah mengatakan tidak ingin menjelaskan sikapnya. Kalau orang Jawa bilang, esuk tempe sore dele! Ndak konsisten. Ketidakmampuan pemerintah untuk bersikap ini pada akhirnya menjadi preseden buruk bagi kepastian penegakan hukum di Indonesia. Maka, pengusaha resah. Bagaimana kalau mereka tersangkut kasus yang sama? Tidak hanya satu kali mereka menanyakan bagaimana kepastian hukum bagi pengusaha.

"Ini selalu pembicaraan di kalangan pengusaha sebenarnya kasusnya seperti apa sih. Yang menjadi pembicaraan karena faktanya seperti apa, karena kasus yang hampir sama dengan kasusnya Pak SN adalah kasus Salim Group. Proses penyelesaian BLBI untuk Salim Group itu sudah benar, MSAA sudah beres yah sudah selesai. Nah ini kenapa kok kasus SN tidak pernah selesai. 

Kenapa seperti itu? Kasihan ini pasti akan mendemotivasi si pengusahanya sendiri, sangat disayangkan. Apalagi dengan pembuktian-pembuktian yang kesannya memaksakan atau mem-framing," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani pada Metrotvnews.

Keseleo soal SKL BLBI tidak lantas membuat pemerintah introspeksi dan berhenti untuk menjelaskan. Padahal, Mantan Ketua Mahkamah Konsitusi Mahfud MD menilai pengungkapan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah berkekuatan hukum tetap, bertentangan dengan jaminan kepastian hukum setiap warga negara Indonesia.

"Prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum, maka dia tidak bisa dibatalkan. Kalau ada pidananya itu tindak pidana tersendiri kepada pelakunya, tetapi bagi yang terlibat dalam sebuah perjanjian yang resmi seperti tax amnesty, BLBI sebenarnya dan seharusnya sudah selesai secara hukum," katanya pada Sindonews.

Menurut Mahfud MD, di dalam hukum ada tiga prinsip yang mesti dijadikan pijakan yakni, kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. "Nah itu harus bersinergi, sesuatu kepastian hukum kalau tidak adil itu nanti bisa challange di pengadilan. Akan tetapi prinsipnya sesuatu yang sudah dibuat secara sah menurut hukum, maka dia tidak bisa dibatalkan". 

Mumet ya.

Makanya, tidak berlebihan kiranya kalau saya katakan mempermasalahkan kepastian hukum di Indonesia ini seperti menentukan apa yang ada lebih dulu: telur atau ayam. Hanya saja, penentuannya tidak dilakukan dari sisi empiris dan lebih kepada debat di warung kopi: segalanya serba-katanya, buram, dan tidak ada yang mau mengambil sikap (baca: pemerintah). 

Jadi, mana yang lebih dulu, ayam atau telur? Mbuhlah.

-Penulis adalah pengamat media

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun