GAYA hidup frugal living semakin mengemuka akhir-akhir ini, terutama setelah munculnya pandemi Covid-19.
Situasi pandemi yang serba tidak menentu mendorong banyak orang berpikir berkali-kali ketika hendak membelanjakan uangnya. Banyak orang mulai menerapkan cara hidup hemat demi mengantisipasi situasi ekonomi yang tidak pasti.
Frugal living sendiri secara simpel bisa dimaknai sebagai gaya hidup hemat, mengeluarkan uang seminimal mungkin agar lebih banyak lagi uang yang bisa ditabung.
Istilah frugal living memang baru mencuat beberapa tahun terakhir, tetapi sesungguhnya banyak orang sudah mempraktikkannya sejak puluhan tahun lalu, ibu saya salah satunya.
Sebagai generasi baby boomer, ibu saya tumbuh dalam situasi ekonomi keluarga yang serba kekurangan.Â
Situasi tersebut dampak dari banyaknya mulut yang harus diberi makan dalam keluarga. Kakek dan nenek harus menghidupi 11 anak, sementara gaji kakek sebagai seorang anggota TNI sangat tidak mencukupi.Â
Kondisi sulit tersebut menjadikan ibu sangat paham apa artinya kesulitan finansial. Selama bertahun-tahun, ibu dan saudara-saudaranya harus menerima hanya menikmati bubur atau singkong rebus sebagai makanan utama.Â
Jangan tanya lauk-pauknya apa, sangat sederhana. Paling sering sebagai teman bubur atau singkong rebus adalah urap sayuran tanpa bumbu. Bahan urap pun hanya daun singkong dan parutan kelapa. Kedua bahan tersebut dipilih karena diperoleh tanpa membeli, tetapi sengaja ditanam di halaman belakang rumah.Â
Situasi ekonomi mulai membaik ketika dua anak terbesar yaitu ibu dan kakak tertuanya mulai bekerja. Ibu bekerja sebagai guru di sebuah sekolah Kristen, sedangkan sang kakak bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit.
Pengalaman hidup berada dalam kondisi ekonomi sulit saat kecil hingga menjelang dewasa, membuat ibu sangat bijaksana mengelola keuangan di masa depannya. Terutama setelah ibu berumah tangga.
Hidup berhemat menjadi ciri khas ibu sejak dulu. Saat saya kecil, bahkan sering kali saya menganggap ibu pelit.Â
Ibu sangat ketat dalam pengelolaan uang. Beliau sangat konsisten menarik garis tegas antara kebutuhan dan keinginan. Jadi jarang sekali ibu membeli barang hanya karena sekadar memenuhi keinginan. Ibu hanya akan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang benar-benar dibutuhkan. Selama masih ada barang lama yang bisa dimanfaatkan, ibu tidak akan membeli barang baru.Â
Dalam membeli baju, misalnya. Jatah baju baru untuk saya dan tiga saudara kandung saya sudah sangat jelas, yaitu satu kali setahun, yakni menjelang hari raya Natal saja. Untuk itu, kami diwajibkan menabung selama satu tahun penuh sejak Januari pada tahun yang sama.Â
Uang yang kami tabung bisa berasal dari mana saja, seperti dari uang jajan, atau uang angpau dari om, tante atau kerabat yang berkunjung ke rumah.
Ibu membelikan kami masing-masing sebuah celengan yang terbuat dari tanah liat. Lalu celengan akan disimpan di kolong tempat tidur.Â
Ketika celengan dipecahkan pada awal bulan Desember, jumlahnya akan menentukan seberapa banyak baju dan sepatu baru yang bisa kami beli. Hasil tabungan satu tahun memang tidak banyak, tetapi biasanya cukup untuk membeli dua pasang baju baru, sepasang sepatu untuk ke gereja, dan sepasang kaus kaki baru.
Melalui cara ini, kami anak-anaknya juga dilatih untuk menghemat uang jajan. Tujuannya agar isi celengan kami bertambah guna pemenuhan kebutuhan akan baju baru di Hari Natal. Itu pula sebabnya, dulu, cukup sering saya menahan lapar di sekolah demi menahan uang jajan agar bisa mengisi celengan.Â
Sesekali terkadang kami akan mendapat baju baru selain pada momen Natal. Salah satunya terjadi ketika satu kali ibu pergi mengunjungi tanah leluhurnya di Maluku.
Dalam perjalanan tersebut ibu singgah di Yogyakarta, dan membelikan saya sebuah dress untuk ke gereja berwarna krem yang sangat manis. Ibu juga membelikan saya sepasang sepatu berwarna senada dengan dress tersebut.
Pada lain waktu, dalam satu momen liburan sekolah, kami sekeluarga jalan-jalan ke Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, kami berkunjung ke Jakarta Fair (Pekan Raya Jakarta) yang kala itu masih diselenggarakan di kawasan Monas. Saat itu, ibu membelikan kami anak-anaknya sepasang baju sebagai tanda mata dari ibukota.Â
Hal yang sama diterapkan untuk keperluan sekolah. Tidak ada tas baru, baju seragam baru, atau sepatu sekolah baru, sepanjang yang lama belum rusak parah dan masih bisa diperbaiki dan dipakai.
Begitu pula dengan peralatan tulis-menulis. Buku tulis harus digunakan sampai habis. Jika pada saat kenaikan kelas masih ada sisa beberapa lembar yang belum terpakai, maka bagian kertas yang sudah terpakai akan digunting dan disisihkan, lalu sisanya dimanfaatkan di kelas berikutnya.Â
Untuk urusan pangan keluarga, ibu jauh-jauh hari sudah mengantisipasi. Ibu menanami halaman rumah kami yang cukup luas dengan berbagai jenis tanaman pangan, mulai dari sayuran dan buah-buahan, juga aneka bumbu dapur.
Oleh karena itulah, ibu tidak mengeluarkan uang banyak untuk urusan sayur dan buah-buahan bagi konsumsi keluarga.Â
Untuk sayuran, ada persediaan daun singkong dan daun pepaya yang siap dipetik kapan saja. Sedangkan untuk buah-buahan, rasanya kami hampir tidak pernah membeli buah kecuali durian dan rambutan.Â
Di halaman rumah yang merangkap kebun dipenuhi berbagai jenis tanaman pisang, beberapa jenis batang jambu, pepaya, nangka, dan cempedak. Selain itu, ada pula aneka jeruk, kedondong, dan kelapa.
Saking melimpahnya hasil kebun, selalu tersaji buah-buahan di atas meja. Saking melimpahnya buah-buahan pula, ibu sering kali nengolah buah-buahan menjadi aneka penganan.
Pisang, misalnya, paling sering ibu mengolahnya menjadi jumput-jumput, gorengan pisang khas Bangka Belitung. Kedondong selain dijadikan bahan rujak, sering pula ibu mengolahnya menjadi asinan. Sedangkan kelimpahan jambu air akan diolah menjadi jus jambu.
Agar jus jambu tahan lama, sari jambu akan dimasak hingga nendidih agak lama, didinginkan, baru kemudian disimpan di dalam lemari pendingin. Jus rumahan ini bisa awet hingga beberapa minggu.
Bukan hanya itu, untuk memanfaatkan hasil buah kelapa dari kebun, ibu juga rajin membuat minyak goreng sendiri dari kelapa-kelapa tersebut.
Ketika buah kelapa sedang banyak-banyaknya, ibu juga biasanya akan membuat sambal lingkung, yaitu abon ikan khas Bangka Belitung, yang menggunakan santan kelapa sebagai salah satu bahan dasar pembuatannya.Â
Untuk urusan pemenuhan proteon, kami bersyukur kala itu kami tinggal di Pulau Belitung, di mana hasil lautnya melimpah. Berbagai jenis ikan, udang, kepiting, maupun kerang, bisa didapatkan dengan mudah di pasar. Kondisinya pun selalu ralam keadaan segar dengan harga yang cukup terjangkau.Â
Kebetulan ibu seorang yang rajin untuk urusan rumah tangga. Sepertinya energi ibu tidak pernah habis untuk melakukan pekerjaan apapun di rumah.
Begitu pula dengan kegiatan masak-memasak, ibu rajin mengolah apapun di dapur. Itu sebabnya, jarang sekali kami membeli makanan dari luar.
Semua makanan yang tersaji di rumah adalah hasil olahan tangan ibu. Dengan cara begitu pula, ibu bisa mengirit pengeluaran.Â
Ibu memegang prinsip untuk tidak membeli sesuatu bila bisa membuatnya sendiri. Yang dibutuhkan untuk mewujudkan prinsip tersebut hanyalah tangan yang rajin untuk melakukannya.Â
Gaya hidup hemat lainnya yang ibu terapkan yakni berbelanja bahan makanan dan memasak secukupnya. Cara ini ibu lakukan agar tidak ada bahan makanan yang busuk karena tidak terpakai atau makanan matang yang bersisa karena tidak termakan.
Membeli terlalu banyak bahan makanan dan membiarkannya membusuk karena tidak terpakai, atau membuang makanan yang tidak termakan, sama saja dengan membuang uang. Itu prinsip ibu.Â
Tidak hanya itu, ibu juga selalu berusaha untuk tidak menyisakan satu butir nasi pun pada piring makannya. Kami anak-anaknya pun mengikuti cara beliau. Sampai-sampai seorang teman pernah menyindir saya "rakus" karena melihat saya selalu membuat piring bekas makan saya licin tak bersisa, hahaha....Â
Saking tidak ingin ada makanan yang terbuang, karena itu sama artinya membuang uang, ketika ibu usai mengulek cabai untuk membuat sambal, ibu akan menaruh nasi di cobek dan mengeruk sisa sambal yang melekat pada cobek, menggunakan nasi.Tidak ingin ada yang terbuang tidak hanya berlaku untuk makanan, tetapi juga berlaku untuk barang-barang lainnya. Seperti pasta gigi dan krem muka yang berbentuk serupa odol, misalnya. Kala isinya tidak keluar lagi, ibu akan menggunting wadah pasta gigi atau krem muka untuk mengeruk isi yang masih tersisa di dalamnya.Intinya, bagi ibu, pemanfaatan barang atau sumber daya harus semaksimal mungkin, agar bisa menghemat pengeluaran.Â
Gaya hidup hemat ala ibu bila dilihat sepintas mirip dengan gaya hidup pelit. Saya kecil dulu pun berpikir seperti itu. Namun, setelah menjalani kehidupan dewasa, saya justru mengacungkan jempol untuk gaya hidup hemat yang ibu lakukan.
Di luar cara hidup ibu yang berhemat, ayah dan ibu tidak segan berbagi pada kerabat dan teman yang membutuhkan. Artinya, ibu bukan pelit, tetapi ibu menerapkan pola pengelolaan keuangan secara tepat dan bertanggung jawab. Berhemat di satu sisi, untuk bisa menyimpan dana dan berbagi pada orang lain di sisi lainnya.
Di samping itu, dengan gaya hidup hematnya, ibu berusaha menggali dan memanfaatkan semua potensi diri bahkan semua sumber daya yang tersedia demi mendukung pengelolaan dana secara tepat guna. Dengan begitu perencanaan masa depan pun bisa ditata melalui pengelolaan keuangan yang tepat.Â
Pada saat-saat krusial dimana dibutuhkan dana dadakan, saya melihat ayah dan ibu mampu mengatasinya. Selalu ada dana tersedia dalam situasi darurat. Di situlah saya melihat betapa pentingnya menerapkan pola hidup hemat dan bertanggung jawab.Â
Kini, sebagian besar cara beliau saya praktikkan. Hanya saja untuk menanam sayuran dan buah-buahan sulit saya lakukan karena memang tidak ada lahan untuk itu.
Lalu pertanyaannya, apakah ayah dan ibu bisa kaya dengan gaya hidup hemat ala ibu? Tentu saja!
Kaya tidak selalu diukur dengan kepemilikan materi. Kaya pun patut diukur dari bergelimangnya perasaan nyaman dalam hati.
Perasaan nyaman itu antara lain datang dari rasa puas karena mampu mengelola keuangan dengan tepat dan bertanggung jawab.
Kaya akan perasaan nyaman juga datang dari rasa puas karena telah berusaha maksimal menggali dan memanfaatkan semua potensi diri juga semua sumber daya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan keluarga.Â
Dengan gaya hidup hemat dan pengelolaan keuangan yang tepat dan bertanggung jawab, lalu ada cukup dana yang disisiahkan, maka akan ada harapan dan rasa tenang dalam menjalani kehidupan baik masa kini maupun masa yang akan datang.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H