Sejak kecil, saya lebih tertarik menyampaikan segala sesuatu yang saya rasakan melalui tulisan. Senang, bahagia, sedih, kesal, larinya ke buku harian. Ditambah pula, saya kurang suka"beradu cakap" Â secara frontal, apalagi sampai bersitegang urat leher dengan siapapun , males banget.Â
Bukan hanya itu, di tengah keluarga, saya juga sering kali dianggap "anak bawang". Terlahir sebagai anak bungsu perempuan membuat pendapat saya sering diabaikan.Â
Itu sebabnya, buku harian menjadi tempat pelarian terbaik menyuarakan buah pikiran sendiri.Â
Perjumpaan saya dengan Kompasiana pun terjadi tanpa diduga. Didasari oleh hasrat terpendam yang tak kunjung tersalurkan, yakni hasrat untuk mengungkapkan pendapat, menyampaikan keresahan, serta melampiaskan unek-unek.Â
Waktu itu sebenarnya saya sudah mencoba menulis beberapa artikel di blog pribadi, tetapi sayangnya sepi pembaca. Saya pun jadi malas melanjutkan menulis di sana.Â
Lalu, tanpa sengaja, akhir Oktober 2019, akibat random browsing di internet, ketemulah sebuah artikel dari Kompasiana. Saya lihat, artikelnya seperti catatan pribadi penulisnya. Kesimpulan saya ketika itu, sepertinya siapa saja bisa menulis artikel di Kompasiana.Â
Akhirnya, saya cari tahu sendiri bagaimana agar bisa menulis di platform ini, lalu hari itu juga saya mendaftar sebagai member.Â
Beberapa bulan pertama jadi kompasianer, artikel-artikel saya ancuuur banget. Kalau dibaca lagi sekarang, geli sendiri.Â
Artikel-artikel itu pun masih ada sampai sekarang, enggak saya hapus. Biar saja, buat kenang-kenangan sekaligus pengingat, bahwa saya pernah jadi penulis yang tidak tahu apa-apa.
Sebenarnya wajar sih, namanya penulis pemula, menulis masih sesukanya, semaunya sendiri. Belum mengerti kalau menulis artikel itu ternyata ada teknik, koridor dan pakemnya. Dan semua itu wajib dipatuhi kalau mau tulisan kita dilirik Admin Kompasiana, juga dilirik pembaca.Â