JAKARTA memiliki sejumlah obyek wisata menarik yang bisa dikunjungi. Wisatawan yang berkunjung ke Jakarta bisa memilih sesuai dengan minat masing-masing.
Di antaranya ada Kota Tua dengan bangunan-bangunan klasik peninggalan Kolonial Belanda. Ada Taman Mini Indonesia Indah nan memanjakan wisatawan yang ingin mengenal Indonesia secara instan.
Kemudian ada Taman Margasatwa Ragunan yang dapat dijadikan sarana edukasi guna mengenal ragam jenis satwa dari seluruh Indonesia maupun dunia. Selain itu, ada Pantai Marina Ancol, Kepulauan Seribu, Setu Babakan, berbagai museum juga rumah-rumah ibadah yang mengandung nilai sejarah karena dibangun pada zaman penjajajahan, serta masih banyak lagi obyek wisata menarik lainnya.Â
Jika ditanya manakah yang paling menarik dari sekian banyak obyek wisata di Jakarta? Buat saya, semuanya menarik. Saya tidak bisa menyebut yang satu lebih menarik dari yang lainnya, karena setiap obyek wisata menawan dengan ciri khas serta keunikannya masing-masing.Â
Namun, banyak yang bilang, ke Jakarta belum lengkap bila belum berkunjung ke kawasan Monas (Monumen Nasional).Â
Sebagai ikon ibukota negara, hingga saat ini, kawasan Monas masih menjadi salah satu destinasi wajib pelancong yang berkunjung ke Jakarta. Terlebih bagi mereka yang baru pertama menciptakan jejak di kota metropolitan ini.Â
Tugu Monas yang terletak di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, merupakan monumen peringatan setinggi 132 meter, yang dibangun untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda.Â
Beberapa waktu lalu, dalam rangka mengisi liburan sekolah, saya, suami, dan anak kami kembali mengunjungi tugu bersejarah ini.
Meskipun sudah beberapa kali berkunjung ke sana, tetapi kami belum kesampaian masuk ke dalam monumen, termasuk belum sampai ke puncaknya.
Tekadnya kali ini, ingin masuk sampai ke dalam monumen, dan sampai ke puncak lidah api.Â
Dengan menumpang Commuter Line, dari Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kami bergerak menuju Stasiun Juanda di Jakarta Pusat.Â
Dari Stasiun Juanda, dengan berjalan kaki kami melintasi jembatan penyeberangan yang terkoneksi dengan stasiun serta halte transjakarta.
Turun dari jembatan penyeberangan, satu gtup pengamen jalanan menyambut kami. Mereka memainkan musik instrumental menggunakan angklung sebagai alat musiknya. Keren banget! Sayang, saya lupa merekam dan mengambil gambarnya.Â
Kemudian, kami lanjut berjalan kaki sekitar beberapa ratus meter menyusuri sisi Kali Ciliwung menuju gerbang Monas.
Sepanjang jalan yang kami lalui, banyak pedagang kaki lima menggelar dagangannya. Sebagian besar adalah penjual makanan dan minum. Nuansa nusantara sangat kental, karena makanan yang dijual umumnya khas nusantara, seperti soto ayam, sate Madura, nasi goreng, pecel lele, ketoprak, gado-gado, bakso, dan batagor.
Tidak hanya pedagang makanan, pedagang suvenir pun turut mengambil lapak. Umumnya adalah penjual kaus, topi, dan gantungan kunci bertuliskan Monas atau Jakarta.
Meleawati pintu kecil yang hanya bisa dilewati pejalan kaki, hamparan luas halaman hijau menyambut para pelancong. Tugu Monas terpampang jelas di depan sana, menjulang tinggi mengundang segera dihampiri.
Karena ingin masuk ke dalam Monumen Nasional, kami menuju tenda kecil berwarna putih, tempat penjualan tiket masuk. Pembelian tiket menggunakan kartu JakCard yang diterbitkan oleh Bank DKI. Jika belum memiliki, bisa langsung beli di tempat.
Kartu JakCard yang sudah dibeli nantinya bisa digunakan kembali untuk ke obyek wisata Kota Tua, Ragunan, dan untuk menaiki transportasi publik.
Kami pun terpaksa mengurungkan niat untuk naik ke puncak Monas. Tiketnya suda habis terjual. Seharusnya kami datang lebih awal untuk bisa mendapatkannya. Tiket yang tersisa hanya untuk kunjungan ke museum dan pelataran cawan. Tidak apa-apa. Tetap penasaran gerangan apa gelaran di dalam museum serta pelataran cawan.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Monas terdiri dari tiga bagian, yakni Pelataran Bawah atau Pelataran Cawan, Pelataran Puncak, dan Lidah Api.Â
Melewati beberapa anak tangga menurun, ruangan Museum Sejarah Nasional terletak di bagian dasar monumen dengan kedalaman 3 meter.
Ruangan besar berlapis marmer dengan ukuran luas 80 x 80 meter tersebut terlihat sudah dipenuhi pengunjung yang umumnya adalah rombongan keluarga. Sepertinya liburan sekolah menjadi kesempatan emas bagi wisatawan untuk mengajak keluarga mereka mengenal Monas lebih dekat. Sebagian pengunjung bahkan terlihat sedang beristirahat di lantai museum.
Museum Sejarah Nasional ini ternyata menampilkan berbagai diorama yang bercerita tentang sejarah Indonesia, sejak masa prasejarah hingga Orde Baru. Diorama-diorama tersebut diatur sedemikian rupa mengelilingi ruangan.
Diawali dari dekat tangga masuk, diorama pertama bercerita perihal nenek moyang bangsa Indonesia dari ras Paleo Mongoloid di zaman Neolitikum.
Lanjut bergerak searah jarum jam, pengunjung dapat menikmati satu persatu diorama dari total 48 diorama yang mengelilingi sisi dinding ruangan museum. Aliran sejarah bangsa bergerak seturut urutan diorama.Â
Sajian diorama disertai pula dengan narasi dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, menjelaskan secara singkat cerita dibalik diorama tersebut. Total ada 51 diorama, dengan 3 diantaranya berada di tengah ruangan museum.Â
Menikmati diorama perjalanan sejarah Bangsa Indonesia merupakan daya tarik tersendiri, khususnya bagi penikmat sejarah. Seakan terbawa mesin waktu ke masa lalu, aneka rasa timbul tenggelam menyaksikan untaian sejarah tersaji.Â
Rasa yang mencuat bagai melihat album masa lalu. Turut terhanyut kala menyimak kisah-kisah perjuangan rakyat dan para pemimpin bangsa sebelum maupun sesudah kemerdekaan.Â
Pengetahuan sejarah yang banyak terlupa selepas sekolah, kembali terisi dengan menyimak satu persatu suguhan histori yang tertata apik. Rasa nasionalisme, bangga, dan cinta tanah air pun kembali berkobar.Â
Pelajar atau masyarakat umum yang rindu memperdalam sejarah Bangsa Indonesia, Museum Sejarah Nasional ini sangat recommended.Â
Sejumlah wisatawan asing juga tampak terlihat tekun menyimak setiap diorama dipandu seorang tour guide.
Usai memuaskan dahaga akan cikal bakal bangsa di Museum Sejarah Nasional, kami bergerak naik menuju Pelataran Cawan.
Dari Pelataran Cawan, pengunjung dengan leluasa dapat melihat pemandangan kawasan Monas dan sekitarnya dari ketinggian 17 meter dari dasar Monas. Dengan diiringi tiupan angin yang cukup kencang, banyak pengunjung yang duduk-duduk melepas lelah di area ini, sembari menyantap kudapan dari bekal masing-masing.
Lepas pukul empat sore, kami memutuskan mengakhiri kunjungan kami ke Monas. Melalui rute yang sama, kami menikmati nuansa Jakarta menuju senja.
Referensi : Wikipedia.org, travel.kompas.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H