Sebelumnya, selama menginap di rumah bersalin, saya tidak repot. Semua urusan bayi diambil alih bidan yang merawat.Â
Di tempat bersalin pula, bidan mengajari saya cara menyusui bayi. Saya juga sudah mempraktikkannya beberapa kali.Â
Dalam pikiran polos saya saat itu, ASI hanya akan keluar kalau bayi mengisap puting payudara ibu. Kalau nggak, ya nggak keluar.Â
Dalam pikiran bodoh saya kala itu, ASI tuh kayak angin. Bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Du.. du.. duu.. dapat ilham dari mana sampai berpikir seperti itu. Ternyata, bukan kasat mata, memang ASI saya yang belum keluar. Hadeuh...Â
Yang anehnya, tidak ada satupun yang menginformasikan hal itu kepada saya. Bahkan bidan pun tidak. Itu pula ternyata sebabnya, selama menginap di tempat bersalin, bidan lebih banyak memberi susu formula kepada bayi kami.
Selama kehamilan, sebenarnya saya sudah membaca beberapa buku tentang cara merawat bayi. Namun, ternyata pengetahuan yang saya dapatkan masih jauh dari cukup. Selain itu, praktik tidaklah semudah teorinya.Â
Pantas saja, sepanjang siang setelah kami pulang dari rumah bersalin, bayi saya terus menangis. Saya bingung kenapa. Saya merasa sudah menyusuinya, tapi kenapa masih menangis.Â
"Mungkin lapar. Dibikinkan susu formula saja," itu kata bidan ketika saya menghubunginya.Â
Benar saja, ketika diberi susu formula, bayi saya melahapnya dengan rakus. Kelaparan banget sepertinya.Â
Sore harinya, seorang bude datang menjenguk kami. Ketika itu bude turut melihat ketika saya berusaha memberi ASI pada bayi kami.Â