Berkali-kali tangan ini mengusap pipi. Berusaha menghapus air mata yang terus berlinang di sana.
Perasaan marah, sedih, tidak terima, masih bercokol di dada. Untung aku mendapat tempat duduk di sisi jendela. Semoga tidak ada penumpang lain yang melihat aku menangis merana.
Kejadian pagi tadi masih terpatri kuat di kepala. Seolah rekaman video, tayangannya berputar berulang-ulang.Â
***
Seperti biasa, pagi itu aku masih terlelap. Waktu mungkin menunjukkan kira-kira pukul enam. Rinta, kakak perempuanku, sedang bersiap berangkat bekerja.
Jam kerja kami memang berbeda. Kak Rinta harus menjalani eight to five office hours, sementara jam kerjaku lebih fleksibel.
Merantau jauh dari orang tua, kami berdua menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran kota.
Tengah nyaman bergelung dalam selimut, tiba-tiba aku dibangunkan. Kak Rinta hendak meminjam telepon selulerku. Mau menghubungi rekan kerja, katanya.
Alih-alih bertanya mengapa Kak Rinta tidak menggunakan gawainya sendiri, rasa panik langsung menyergap. Dengan cepat aku mengambil handphone di samping bantal. Aku memang selalu menaruhnya di sana tiap kali hendak tidur malam.
Buru-buru aku menyalakan handphone-ku. Maksud hati hendak membuka SMS, menghapus pesan berbalas dengan Mas Karma, baru kemudian memberikan handphone tersebut pada Kak Rinta.