Minggu lalu, saya menumpang satu gojek motor (go ride) untuk sebuah tujuan di daerah Depok. Dalam perjalanan tersebut saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan bapak driver.Â
Si bapak driver bercerita, bahwa tadinya beliau bekerja sebagai tenaga securiti di sebuah apartemen di wilayah Bintaro, melalui penyaluran dan perjanjian kontrak kerja dengan sebuah perusahaan outsourcing.Â
Tahun 2016, manajemen apartemen tidak membutuhkannya lagi, dan masa kontrak kerjanya juga tidak diperpanjang.Â
Bingung tiba-tiba kehilangan pekerjaan, beliau langsung teringat pada Gojek. Dengan modal sebuah motor berusia empat tahun kala itu (2012), sebuah STNK dan SIM atas namanya sendiri, beliau mengajukan diri sebagai pengemudi merangkap mitra Gojek, dan diterima. Hingga kini terhitung sudah enam tahun beliau bermitra sebagai pengemudi go ride bersama Gojek.
Dengan usia beliau yang sudah lewat 40 tahun, beliau sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Hal ini pula yang membuatnya bersyukur masih diterima sebagai driver Gojek. Istri dan seorang anaknya pun masih bisa diberi nafkah.Â
Menurut cerita bapak ini, di antara sesama pengemudi Gojek ada istilah "akun bagus" dan "akun jelek". Kondisi tersebut bersifat harian. Kondisi ini pula yang menyebabkan jumlah penghasilan driver setiap hari bervariasi, sesuai dengan kondisi akun si pengemudi pada hari tersebut.Â
Disebut "akun bagus", jika sepanjang hari itu driver terua-menerus menerima pesanan (order). Jadi, selesai satu pesanan, langsung masuk pesanan baru, begitu seterusnya hingga malam hari.  Sedangkan, akun akan dikatakan sebagai "akun jelek" jika sepanjang hari, driver sepi pesanan.
Artinya, dalam kondisi akun yang sudah standby dan driver sudah siap melayani pesanan, tetapi pesanan justru tidak muncul-muncul. Kondisi tanpa order sama sekali iini bisa berlangsung hingga tiga jam, bahkan bisa lebih.Â
Jika kondisi sedang "akun bagus", dalam satu hari bapak driver ini bisa meraup penghasilan hingga 200-250 ribu rupiah. Dipotong biaya bahan bakar, makan, kopi, dan rokok selama bekerja, beliau bisa membawa pulang 150-200 ribu rupiah.
Namun, jika akun sedang jelek, membawa pulang 50 ribu rupiah saja sudah sangat bersyukur. Karena itulah, beliau berkata pengemudi mesti pintar-pintar mengelola penghasilan yang didapat. Selalu berjaga-jaga untuk kondisi kala akun mereka sedang tidak beruntung.Â
Para driver sendiri tidak mengerti penyebab kondisi demikian. Mereka hanya bisa bersyukur kalau memang akun sedang bagus.
Sementara jika akun sedang jelek, ada doa yang dipanjatkan agar ketika hari berganti, kondisi akun juga berganti.Â
Terlepas dari kedua situasi tersebut, bapak driver ini tetap bersyukur. Paling tidak ketika semua pintu pekerjaan menutup diri baginya dengan alasan keterbatasan usia, tingkat pendidikan, keterampilan dan aneka ragam persyaratan lainnya, Gojek justru membuka pintu lebar-lebar bagi dirinya.Â
Gojek sebagai bagian dari ojek online memberi kesempatan bagi beliau dan rekan-rekannya sesama pengemudi ojek online, untuk menyambung hidup dan memberi makan anak istri mereka.Â
Saya jadi teringat satu lirik dalam sebuah lagu,Â
Selalu ada jalan, saat seakan tiada jalan...Â
Kisah bapak pengemudi ojol ini juga seolah mengingatkan betapa sistem outsourcing dalam dunia pekerja sangat tidak berpihak pada pekerja.
Pekerja seakan tidak memiliki kekuatan dan pegangan yang kuat. Selain tidak adanya jenjang karir dalam sistem alih daya, sewaktu-waktu pihak perusahaan dapat memutus atau tidak memperpanjang kontrak kerja karyawan.
Pemutusan kontrak kerja ini tentu berbeda dengan PHK pada pekerja dengan status karyawan tetap. Dipecat tanpa pesangon menjadi salah satu konsekuensi yang harus dterima, karena jasa-jasa pekerja bagi perusahaan selama bekerja tidak akan diperhitungkan (MW).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H