Perayaan Tahun Baru Imlek 2023 sudah di depan mata. Saudara-saudara kita etnis Tionghoa tentunya sangat bersukacita menyambut perayaan ini.Â
Saat itu saya terhitung masih murid baru di sana, sebuah sekolah menengah atas di Kota Sungailiat, Bangka. Karena ikut ayah saya yang pindah tugas ke sekolah lain, naik ke kelas dua SMA saya ikutan pindah sekolah juga.
Baru enam bulan di sekolah baru, teman saya belum banyak, paling banter hanya teman-teman satu kelas yang ternyata baik-baik semua. Mereka juga berkali-kali mengajak saya berkenalan dengan siswa dari kelas lain, yang juga umumnya sangat friendly.
Kala itu, toleransi antarumat beragama di Kepulauan Bangka Belitung, tempat saya lahir dan dibesarkan, masih sangat kental. Ketika saya merayakan Natal, teman-teman sekolah yang berbeda agama akan beramai-ramai bersilaturahmi mengunjungi saya.Â
Ketika teman-teman umat Muslim merayakan Idulfitri, kami yang non muslim balik membalas kunjungan mereka. Begitu pula ketika teman-teman yang beragama Konghucu merayakan Imlek, kami yang tidak merayakan, akan berkunjung ke rumah mereka.
Toleransi beragama ini sudah kami lakoni bahkan sejak masih duduk di bangku SD, sekitar kelas 4 atau kelas 5. Masing-masing menggunakan sepeda mini, nama sepeda untuk anak perempuan zaman itu, kami bertamu dari satu rumah teman ke rumah teman lainnya.
Saya lupa apakah dapat angpau atau tidak. Salah satu yang saya suka dengan bersilaturahmi begini, saya bisa berjumpa dengan beragam penganan yang jarang bisa ditemui di luar hari raya keagamaan.
Misalnya, pada saat Idul Fitri, saya akan menjumpai aneka kue semprit, putri salju, nastar, kue rintak khas Bangka Belitung, aneka permen, dan yang pasti ada ketupat beserta lauk pauknya yang begitu menggoda selera.
Sementara, saat Imlek, selain aneke kue kering khas rumahan, ada pula makanan khas kepulauan timah seperti kemplang, kerupuk ikan tenggiri, pletekan, dan siput gonggong. Takketinggalan aneka manisan buah-buahan impor yang banyak muncul di pasar dan pusat pertokoan saat menjelang Imlek.
Dan yang pasti selalu ada menemani sajian lainnya, yaitu kue keranjang dan bolu lapis legit. Dari kedua kudapan ini, lapis legit yang paling saya suka. Tanpa sadar, kadang saya bisa makan beberapa potong sekali bertamu. Nggak tahu malu, hahaha...
Kembali ke masa SMA. Satu kali, satu hari setelah hari raya Imlek, sepulang sekolah, teman-teman satu kelas dan beberapa teman dari kelas lain hendak berkunjung ke rumah seorang teman laki-laki yang merayakan Imlek.
Teman laki-laki ini dari kelas lain, dan kebetulan saya sendiri belum mengenalnya. Dan pada saat itu, karena Imlek belum menjadi hari libur nasional, pihak sekolah berinisiatif memberi ijin kepada siswa yang merayakan untuk tidak masuk sekolah setidaknya selama dua hari perayaan.
Semula saya ragu mau ikut atau tidak, karena memang belum kenal dengan anaknya. Namun, karena terus ditarik-tarik untuk ikut, ya sudah akhirnya ikut juga. Lumayan bisa jalan-jalan bareng teman-teman.
Rumah yang akan kami kunjungi ini lumayan jauh jaraknya dari sekolah, berada di pinggiran kota Sungailiat, arahnya menuju kota Pangkalpinang, ibukota Provinsi Bangka Belitung. Jaraknya kurang lebih 10 km dari sekolah kami.
Ketika itu, kami menggunakan kendaraan umum yang merupakan transportasi antarkota Sungailiat dan Pangkalpinang. Pownis, begitu warga menyebut kendaraan umum tersebut.Â
Pownis sendiri adalah uto/oto (mobil) serupa bus yang begitu melegenda di Pulau Bangka. Pownis ini sangat istimewa karena mayoritas bodinya terbuat dari kayu, termasuk pintu, jendela, tempat duduk penumpang hingga tempat duduk supir.Â
Berhubung rumah saya juga termasuk wilayah pinggir kota dan berada di sisi jalan lintas antarkedua kota tersebut, pownis ini juga yang paling sering saya tumpangi untuk pergi dan pulang sekolah.Â
Pownis yang begitu legend ini kini sudah sulit ditemui. Pownis sendiri merupakan singkatan dari Peusahaan Oto Warga Negara Indonesia Sungailiat.
Suasana riuh langsung memenuhi pownis begitu kami berada di dalamnya. Namanya juga rebege, remaja baru gede, senang banget bisa jalan bersama begitu. Perjalanan yang membutuhkan waktu cukup lama itu pun terasa singkat.Â
Turun dari pownis, untuk mencapai rumah yang dituju, kami masih harus berjalan kaki sedikit melewati gang yang cukup lebar. Ibu teman kami menyambut kami di teras rumah.
Kami langsung dipersilakan masuk ke rumahnya. Karena saya belum kenal dan hanya ikut-ikutan, saya lebih banyak diam, teman-temanlah yang berdialog dengan ibu tuan rumah.
Di atas meja tamu sudah tersusun beberapa toples berisi aneka kue kering dan kerupuk khas Bangka, juga beberapa piring berisi aneka kudapan khas Imlek.
Taklama, ibu yang sangat ramah ini masuk ke bagian dalam rumah yang dibatasi sebuah gorden dengan ruang tamu. Sepertinya beliau hendak memanggil anaknya. Sebelumnya, si ibu mempersilakan kami mencicipi berbagai kudapan yang tersedia.
Ya, karena sudah diberi "lampu hijau" oleh tuan rumah, tanpa ragu-ragu semua tangan langsung bergerak ke toples sesuai selera makanan yang disukai. Saya sendiri langsung menyasar lapis legit yang tersedia di salah satu piring. Hmm, lapis legit memang maknyus...
Beberapa menit kemudian, si ibu muncul kembali dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan penuh dengan gelas-gelas berisi sirup manis berwarna kuning dengan potongan-potongan kecil es batu di dalamnya. Sesuai dugaan saya, minuman dingin tersebut adalah sirup rasa jeruk yang rasanya begitu segar pada siang yang panas itu.
Sambil menikmati sajian dan minuman dingin, kami menunggu tuan rumahnya muncul. Tetapi anehnya, yang kami tunggu-tunggu, teman kami ini, takjuga menemui kami. Setelah lama waktu berjalan, dan kami juga sudah cukup makan dan minum, akhirnya si ibu yang menemani kami, meminta maaf.Â
Sebenarnya, kurang jelas juga apa alasan si anak tidak mau keluar menemui kami. Padahal yang bertamu juga kan teman-teman yang sudah setiap hari ditemuinya di sekolah.Â
Si ibu hanya berkata bahwa si anak tidak mau keluar karena malu.Â
Hingga kami pamit pulang, teman kami ini tidak juga muncul. Pikiran remaja saya kala itu sempat enggak habis pikir, kenapa harus malu ya, apa yang membuatnya malu...?Â
Memasuki tahap dewasa, kemudian saya baru mengerti. Setiap anak, tanpa melihat suku maupun agana, memiliki cara berpikir yang berbeda.
Cara berpikir ini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pola asuh, pendidikan di rumah, lingkungan tempat dimana si anak dibesarkan, bacaan dan tontonan yang diserapnya, serta berbagai faktor sosial budaya lainnya.Â
Hal-hal yang dianggap bukan masalah bagi orang dewasa, bisa jadi merupakan masalah bagi mereka.Â
Saya yakin, anak ini juga tidak bermaksud untuk tidak peduli pada kami teman-temannya. Rasa malu entah atas apa, yang tercipta di pikiran remajanya itulah yang menyetir pola lakunya.Â
Seiring berjalannya waktu, setelah melewati bangku pendidikan dan juga berbagai pengalaman hidup, pola pikir dewasa akan mengambil alih cara berpikir masa remaja.Â
Setelah dewasa, mungkin saja teman saya ini juga heran dengan dirinya sendiri, mengapa dia bisa berpikir dan bersikap seperti itu ketika remaja dulu.Â
Bersyukur kami telah disambut dan dijamu dengan sangat baik oleh sang ibu. Sehingga tidak ada rasa kecewa, dan setelahnya teman-teman juga tidak mempermasalahkannya.Â
Akhir kata, selamat menyambut Tahun Baru Imlek 2023 buat pembaca Kompasiana yang merayakannya. Gong Xi Fa Cai (MW).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H