Beberapa waktu lalu, saya dan suami melayat ke rumah seorang kenalan. Suaminya baru saja meninggal dunia akibat sakit berkepanjangan, setelah terkena serangan stroke beberapa tahun silam.
Bukan tanpa sebab suaminya terkena stroke. Rokok menjadi tersangka utama. Sudah menjadi pecandu rokok sejak usia muda, membuat sang suami sulit menghentikan ketagihannya.
Bahkan ketika mulai sembuh dari serangan stroke pertama kali beberapa tahun silam, sang suami kembali pada kebiasaannya merokok, hingga kembali terserang stroke.
Dan orang yang sudah kecanduan umumnya tidak akan mempan dinasihati siapapun serta dengan kata-kata apa pun. Ibarat sudah terjerat dalam lingkaran setan, sulit keluar dari sana. Kecuali sungguh-sungguh memiliki tekad yang kuat.
Ini adalah ketiga kalinya saya pergi melayat ke rumah kenalan yang anggota keluarganya meninggal dunia akibat rokok.
Kali pertama terjadi beberapa tahun silam. Suami dari seorang teman meninggal dunia akibat kanker paru-paru. Perilaku merokok sangat aktif, menjadi penyebab utama.
Suaminya hanya mampu bertahan satu tahun sejak divonis kanker. Sayang sekali, padahal usianya masih sangat muda. Divonis kanker pada usia 40 tahun dan meninggal dunia setahun kemudian. Ketiga anaknya pun masih kecil-kecil.
Kali kedua, suami dari seorang teman juga meninggal dunia akibat rokok. Kejadiannya sendiri cukup tragis.
Jadi, saat serangan jantung terjadi, sang suami sedang merokok sambil menonton TV. Sang istri yang mengetahui beberapa menit kemudian segera mencari pertolongan.
Sayang, suaminya meninggal tanpa sempat mendapatkan pertolongan. Usianya pun tergolong muda, masih 45 tahun, dan anak pertama mereka baru berusia 8 tahun.
Ancaman bahaya rokok memang tidak "kaleng-kakeng". Siap membabat siapa saja yang terjerat, tidak peduli muda maupun tua. Serangan penyakit kardiovaskular hingga kematian mendadak nengintai setiap saat.
Bila sampai hal buruk terjadi, takayal keluarga jadi korban. Istri menjadi janda, Anak-anak menjadi yatim.
Laporan resmi World of Statiatiics per 20 Agustus 2023, menyebut Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengisap rokok terbanyak di dunia. Dalam laporan tersebut jumlah perokok di Indonesia mencapai 70,5 persen.
Ini tentu sebuah prestasi yang luar biasa. Sebuah prestasi yang sangat memalukan.
Sementara, laporan Tobacco Atlas menyatakan bahwa di seluruh dunia hampir lima triliun batang rokok dikonsumsi setiap tahun. Sedangkan menurut data Bea dan Cukai, jumlah konsumsi rokok di Indonesia mencapai 322 miliar batang pada tahun 2020 (VOA).
Akibat ratusan miliar batang rokok yang dibakar tersebut, setiap tahun, sekitar 225.700 orang di Indonesia meninggal akibat merokok atau penyakit lain yang berkaitan dengan tembakau.(WHO)
Merokok pun kini tidak lagi didominasi laki-laki. Tidak sedikit perempuan di Indonesia khususnya, juga merokok.
Hasil survey Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 menunjukkan bahwa dari total 70,2 juta perokok di Indonesia, 3,3℅ diantaranya adalah perempuan.
Termasuklah beberapa perempuan kenalan saya yang juga perokok. Ada yang merokok karena terpengaruh pergaulan erat dengan perokok di tempat kerja. Ada pula yang mengikuti jejak suami yang perokok.
Suami-istri perokok tentu bukan sesuatu yang patut dicontoh. Terbayangkan bagaimana kondisi rumahnya. Dimana-mana bau rokok. Anak-anak pun terpapar asap rokok dua kali lipat.
Rokok jelas tidak memberikan efek positif bagi kesehatan. Itu sebabnya, pemerintah mewajibkan peringatan akan macam penyakit yang bisa muncul akibat rokok tertulis di tiap bungkus rokok.
Namun, anehnya banyak pecandu rokok yang sama sekali tidak terpengaruh akan ancaman tersebut. Termasuk tidak mau mengindahkan ketika ditegur atau dinasihati oleh orang-orang di sekitarnya.
"Bodo amat!" Itu ungkapan yang pernah saya dengar dari seorang perokok ketika mendapat komplain karena merokok di tempat umum.
Tingkat kesadaran dan kepedulian perokok umumnya memang sangat rendah. Tidak peduli dengan kesehatan sendiri, tidak peduli dengan orang di sekitarnya yang tidak merokok tapi terpapar asap rokok mereka. Terlebih tidak peduli dengan kesehatan anggota keluarganya yang terpaksa menjadi perokok pasif.
Bulan Juli lalu, ada berita yang cukup miris. Seorang bayi laki-laki yang baru berumur 7 bulan harus meregang nyawa akibat ulah perokok di rumahnya.(KompasTV)
Bukan hanya satu orang, bahkan ada tiga perokok aktif yang tinggal satu rumah dengan bayi malang tersebut, terdiri dari ayah, om, dan paman sang bayi.
Kondisi akhir sebelum meninggal, diketahui salah satu paru-paru bayi sudah rusak dan tidak berfungsi lagi.
Jahat! Mungkin kata itu patut disematkan pada orang-orang yang telah menyebabkan bayi tersebut meninggal dunia.
Orang-orang yang karena keegoisannya tidak memikirkan kepentingan orang lain, bahkan rela mengorbankan kesehatan serta nyawa anak dan keponakannya sendiri.
Indonesia sepertinya memang darurat rokok. Sayangnya, pemerintah terkesan "setengah hati" menyikapi perkembangan yang sangat mengkhawatirkan ini.
Berbagai peraturan yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah untuk mengendalikan perokok sepertinya tidak membuahkan hasil.
Alih-alih berkurang, kian tahun jumlah perokok di negeri ini kian bertambah. Bahkan rokok kini merambah pada anak-anak usia remaja dan membuat mereka kecanduan.
Perilaku perokok pun semakin tidak memiliki adab. Mereka merokok sambil naik motor, sambil menyetir mobil, di kafe, di warung makan, di restoran, saat pesta-pesta, saat kumpul-kumpul keluarga, saat arisan, ketika gelaran reuni, dimana saja dan kapan saja semua mereka.
Tanpa mau tahu mungkin banyak yang alergi karena penyakit tertentu atau memang tidak suka dengan asap rokok, atau banyak anak-anak di sana.
Seandainya saja pemerintah kita berani bersikap tegas seperti pemerintah Selandia Baru.
Dikerahui bahwa sejak Desember 2022, Selandia Baru telah mengesahkan undang-undang yang secara permanen melarang penjualan rokok pada siapapun yang lahir pada atau setelah 1 Januari 2009.(CNN)
Larangan ini bertujuan guna mencegah generasi mendatang untuk merokok, dan merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk menjadikan Selandia Baru “bebas rokok” pada tahun 2025.
Hal ini berarti bahwa negara ini akan memiliki usia legal yang terus meningkat setiap tahunnya untuk membeli produk tembakau yang diisap.
Ya, seandainya saja pemerintah kita tidak banyak pertimbangan kepentingan dalam menetapkan undang-undang tentang rokok.. Andai saja pemerintah kita lebih serius menanggapi isu-isu tentang rokok.
Mungkin pemerintah Indonesia bisa mencontoh negara-negara lain yang telah lebih dulu bersikap keras dan tegas terhadap rokok.
Sebenarnya banyak peraturan yang bisa dibuat untuk meredam peningkatan jumlah perokok dan konsumsi rokok. Seperti membatasi jumlah produksi setiap pabrik rokok, membatasi penjualan rokok dengan hanya membolehkan rokok dijual di tempat-tempat tertentu saja, serta menetapkan batas usia legal mereka yang bisa membeli rokok.
Tentu saja peraturan harus beriringan dengan pengawasan yang ketat dan pelaksanaan konsekuensi pelanggaran dengan tegas. Tanpa itu, tidak ada gunanya dan sia-sia saja pemerintah membuat bermacam peraturan dan undang-undang apapun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H