Kebetulan, di sekolah anak saya kala itu, diadakan acara makan bersama setiap hari Jumat. Setiap orang tua murid akan mendapat giliran menyiapkan makanan untuk acara tersebut.
Selama satu tahun ajaran, setiap orang tua akan mendapat satu kali giliran. Jadi selama dua tahun anak saya bersekolah di sana, dua kali juga saya mendapat giliran memasak.
Pada umumnya, anak-anak sangat sulit makan nasi. Namun, itu pun tidak bisa digeneralisasi, karena ada juga anak-anak tertentu yang sedari kecil sudah doyan makan nasi, termasuk anak saya.
itu sebabnya, buat saya, sangat sulit menentukan seberapa banyak saya harus menyiapkan nasi dan sup ayam untuk anak-anak TK tersebut. Saya pun mencari tahu dan bertanya-tanya pada orang tua murid lainnya. Kekhawatiran saya, masakan yang saya sajikan kurang.
Dan benar saja, kekhawatiran saya pun menjadi kenyataan. Sup ayam masakan saya pas, kalau tidak bisa dibilang kurang. Anak-anak terpaksa menahan diri untuk tidak minta tambah.Â
Ya, kabar baiknya, sup ayam kreasi saya enak, sehingga anak-anak suka dan sup ayam itu ludes tidak bersisa. Sedangkan kabar buruknya, anak-anak suka, tapi tidak bisa tambah, kasihan. Saya pun kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Sebuah pelajaran buat saya.Â
Pengalaman lain, satu kali saya diminta menyiapkan nasi putih untuk acara makan bersama pada kegiatan Hari Pangan Sedunia (HPS) di SD tempat anak saya menuntut ilmu.
Pada acara HPS tersebut, ada perlombaan masakan tradisional setiap kelas. Yang menyediakan adalah orang tua siswa. Masakan tradisonal tersebut banyak ragamnya. Baik makanan berat, makanan kecil, maupun aneka minuman tradisional.Â
Setelah sesi penilaian, semua makanan dan minuman tersebut akan dinikmati bersama guru, murid, dan orangtua. Jumlah murid per kelas rata-rata 30 anak. Meriah sekali acaranya.
Saya pun sudah mengira-ngira, berapa canting beras yang harus saya masak menjadi nasi, sesuai pula dengan saran beberapa orang tua murid yang saya tanya pendapatnya.