Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masih Suka Membanding-bandingkan Pencapaian Pria dengan Wanita? Baca Ini Dulu!

10 Desember 2021   08:24 Diperbarui: 10 Desember 2021   08:28 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu, saat anak saya kelas 1 SD, saya berkenalan lalu berteman dengan seorang ibu, sebut saja namanya Grace. Grace memiliki seorang anak berkebutuhan khusus, sebut saja namanya Simon.

Simon tidak bersekolah di sekolah umum, tetapi di sekolah inklusi.

Menurut cerita Grace, saat lahir Simon terlihat normal seperti bayi pada umumnya. Tumbuh kembangnya juga bagus. Tidak ada tanda-tanda kelainan.

Sampai di usia menjelang 2 tahun, tiba-tiba kemampuan Simon terlihat tidak berkembang. Tidak mau lagi diajak bernyanyi bersama, menghindari komunikasi dan mulai tampak memiliki dunia sendiri.

Dari hasil hipotesis dokter yang memeriksa, Simon mengalami gangguan atau kelainan syaraf tetapi bukan bawaan lahir. Dokter menduga Simon mengalami malpraktik saat proses kelahiran.

Dari cerita Grace, dia memang mengalami kesulitan saat melahirkan Simon. Beberapa usaha dicoba untuk Simon bisa keluar tetapi gagal. Sampai akhirnya tindakan terakhir dilakukan yaitu tindakan ekstraksi vakum.

Mengutip dari Alodokter.com, ekstraksi vakum adalah salah satu prosedur untuk membantu proses persalinan normal. Persalinan dengan bantuan ekstraksi vakum dilakukan dengan alat yang disebut vakum ekstraktor. Umumnya, tindakan ini baru dilakukan ketika proses persalinan normal mengalami hambatan.

Vakum ekstraktor adalah instrumen medis yang digunakan sebagai alat bantu untuk menarik bayi keluar dari vagina dalam proses persalinan. Dokter biasanya akan membantu persalinan dengan ekstraksi vakum apabila bayi sulit dilahirkan secara normal tanpa alat bantu.

Memang tidak ada yang salah dengn tindakan ekstraksi vakum, karena upaya ini untuk membantu bayi bisa keluar dari vagina. Hanya saja, pada kasus Simon, dokter menduga ada kesalahan manusia (human error) dalam prosesnya.

Grace dan suaminya sempat berpikir untuk menuntut dokter dan rumah sakit yang membantunya melahirkan Simon. Namun, pada akhirnya mereka memutuskan untuk  membatalkan niat tersebut.

Menuntut pihak yang diduga bertanggungjawab ujung-ujungnya hanya akan buang-buang waktu, tenaga dan biaya pastinya, dan tidak akan dapat mengembalikan Simon ke kondisi normal. Grace dan suami akhirnya sepakat fokus pada perkembangan Simon.

Saat saya pertama kali bertemu Simon, usianya kala itu sudah 15 tahun, dan duduk di sekolah menengah pertama.

Bila melihat sepintas tidak ada perbedaan Simon dengan anak- anak remaja lainnya.

Saya salut dengan perjuangan dan effort Grace sebagai ibu. Grace terlihat sungguh-sungguh berjuang agar Simon mendapat pengasuhan dan pendidikan terbaik demi masa depannya. Hampir tidak pernah terdengar keluhan keluar dari bibirnya walau dalam keadaan letih sekalipun.

"Saya tidak akan selamanya mendampingi anak ini. Saya hanya ingin kelak Simon bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain," ujar Grace satu kali kepada saya.

Sekolah inklusi memang sangat mendukung anak berkebutuhan khusus untuk berkembang sesuai minat dan ketertarikannya.

Sekolah inklusi tempat Simon bersekolah sepertinya mengarahkan Simon pada dunia teknik khususnya perbengkelan.

Terbukti kala itu Simon sudah cukup paham dan mengerti perihal teknik khususnya kendaraan roda empat.

Satu kali ketika studi tur ke sebuah bengkel, Grace bercerita bahwa Sinon tampak cekatan mengganti ban mobil dalam waktu yang lebih singkat dari teman-temannya.

Melihat Grace saya menyadari betapa perjuangan seorang ibu sangat luar biasa. Grace menyingkirkan semua kesenangannya sendiri demi Simon.

Sebagai ibu dari anak berkebutuhan khusus, Grace harus belajar banyak hal agar mampu memaksimalkan tumbuh kembang anaknya.

Tugas dan tanggungjawab Grace cukup banyak. Sebagai istri bagi suaminya, sebagai ibu yang mengurus domestik rumah tangga, juga sebagai ibu bagi Simon dan anak keduanya yang tumbuh normal.

Selain itu, Grace juga berperan sebagai ahli gizi bagi Simon karena memang Simon memilih pantangan makanan tertentu. Di samping itu, Grace juga berperan sebagai terapis, guru, bahkan driver bagi kedua anaknya. Luar biasa. Saya membayangkan saja nggak sanggup.

Itu sebabnya, Grace jarang terlihat berkumpul bersama orangtua murid lainnya, khususnya ketika menunggui anak keduanya di sekolah.

Kebetulan anak saya dan anak keduanya bersekolah di sekolah yang sama.

Grace lebih banyak menghabiskan waktunya ketika menunggui anak di sekolah dengan beristirahat di dalam mobil.

Wajar saja menurut saya. Mengasuh dan membesarkan anak normal saja sering membuat ibu kelelahan. Apalagi mengasuh beberapa anak dengan salah satunya anak berkebutuhan khusus. Peran ganda ibu berlipat-lipat.

Bayangkan saja, setelah mendampingi anak sepanjang hari di rumah sekaligus mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga, Grace masih harus menjalankan tugas mengantar jemput anak ke sekolah bahkan di dua sekolah berbeda, dan harus menyetir sendiri pula. Belum lagi bertemu dengan jalanan Jakarta yang kerap kali macet dan ruwet. 

Ditambah lagi masih harus menghadapi stigma negatif yang masih sering muncul dari orang-orang sekitar bahkan dari beberapa orang tua murid yang berpikiran sempit. Benar-benar menuntut ketangguhan fisik dan psikis.

Itu sebabnya waktu istirahatnya mencuri-curi dari saat menunggui anak di sekolah.

Sekalipun ada seorang ART (asisten rumah tangga) yang membantu Grace, beban tugas dan tanggung jawab utama ada di pundaknya.

Grace juga susah payah mendapatkan aRT yang sehati. Berkali-kali terdengar keluhannya tentang ART. Dan berkali-kali pula Grace berganti ART.

Berkaca dari perjuangan Grace membesarkan anak berkebutuhan khusus, apakah masih layak kita membanding-bandingkan pencapaian pria dengan wanita?

Seorang wanita bahkan rela mengorbankan karir dan kepentingan dirinya sendiri demi kepentingan suami dan anak-anaknya.

Masih mau menyebut wanita tidak setangguh laki-laki? Apakah sanggup laki-laki berperan berlipat ganda seperti Grace?

Hal ini yang sering menjadi keprihatinan saya. Masih ada saja orang-orang yang senang membanding-bandingkan pencapaian laki-laki dengan perempuan. 

Keberhasilan hanya diukur dengan pencapaian-pencapaian prestasi secara materi yang terlihat.

Dalam sebuah ajang kompetisi pun sering kali membanding-bandingkan berapa banyak wanita dan pria yang mencapai puncak kompetisi. Bila jumlah wanita lebih sedikit, lalu mulailah dicari-cari letak permasalahannya. Dan sering kali dilihat hanya dari satu sisi.

Kemudian muncullah opini-opini yang dibungkus dengan kata-kata manis tetapi sarat tudingan. Opini yang seolah-olah bermaksud baik tetapi sebenarnya penuh ketidakrelaan ada wanita bisa mencapai puncak prestasi meskipun jumlahnya hanya sedikit.

Seperti wanita kurang tangguh, wanita kurang mau belajar, wanita kurang ulet, wanita kurang berusaha, wanita tidak berani mencoba hal-hal baru, dan tudingan-tudingan lainnya.

Atau memberikan ucapan selamat kepada sedikit wanita yang berhasil mencapai puncak prestasi, dengan gaya humor tetapi di baliknya ada kesan merendahkan wanita. Misalnya, "Wah, selamat ya ibu, penampilan ibu tadi keren lho. Persis anggota DPR, eh ternyata anggota DaPuR, hehehe..."

Bagaimana seandainya perbandingannya kita ubah. Misalnya, mengapa penghuni penjara lebih banyak pria daripada wanita? Apakah boleh kita menuding bahwa pria cenderung lebih jahat daripada wanita? 

Mengapa pembunuh dan pemerkosa lebih banyak laki-laki daripada perempuan? Apakah bisa kita menuduh laki-laki cenderung lebih sadis dan keji daripada perempuan?

Gimana rasanya? Nggak enak kan dibanding-bandingkan?

Oleh karena itu, setop membanding-bandingkan pencapaian laki-laki dengan perempuan. Dari bentuk fisiknya saja sudah berbeda, jelas perannya juga berbeda. 

Mendidik, membesarkan anak, dan memastikan keluarga terawat dengan baik pun sebuah pencapaian, bro!

Dengan segala peran gandanya itulah yang sering kali membuat wanita terkesan lamban dalam pencapaian dan prestasi secara materi. Wanita memiliki beban tugas dan tanggung jawab yang besar. Wanita memiliki ragam tugas dan tanggung jawab yang lebih banyak dalam waktu yang sama dengan laki-laki.

Kakak, ko pikir wanita manusia super, kah?

Kalau ingin membandingkan, sebaiknya jangan membawa-bawa gender apalagi pribadi seseorang. Membandingkan bisa dari karakter atau perilaku tertentu. Misalnya, mengapa orang rajin lebih gampang sukses daripada orang malas.

Satu kali bila ingin membanding-bandingkan pencapaian pria dengan wanita, coba saja dulu menjalankan peran dan tugas wanita khususnya sebagai ibu rumah tangga. Nggak usah lama-lama, satu minggu aja!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun