"Abangnya," saya mengarahkan dagu ke si penjual.
Suami hanya bisa meringis.
"Mau dibatalkan?" lanjut suami.
"Udahlah," saya tidak enak aja batalin pesanan.
"Nanti kita panasin lagi di rumah," hibur suami. Maksudnya agar lebih yakin roti bakarnya higienis, bisa dipanaskan lagi di rumah.
Sembari terus memperhatikan aktivitas abang penjual, saya bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah abang ini tidak memakai masker sejak menggelar dagangannya sedari sore? Ataukah maskernya baru dilepas?
Mata saya pun mencari-cari dimana gerangan abang penjual ini menaruh maskernya. Namun, mata saya tidak menemukan masker tersebut.
Keinginan untuk bertanya pada si penjual perihal mengapa tak memakai masker pun saya tahan dulu. Melihat masih banyaknya pelanggan yang antre, saya menahan diri, tak ingin juga membuatnya malu di depan banyak orang.
Saya melihat juga, si penjual tidak menggunakan sarung tangan. Dengan tangan yang sama, si penjual memegang roti, memegang kantung plastik, memegang lap, dan menerima uang pembayaran dari pembeli. Duuuh....
Sebenarnya masalah kebersihan para pedagang makanan gerobak pinggir jalan merupakan masalah klasik. Jarang sekali saya temukan pedagang makanan kaki lima menggunakan sarung tangan selama menyiapkan makanan jualannya.
Padahal sarung tangan plastik sangat murah harganya. Saya juga sering membelinya untuk keperluan di rumah. Saya membeli di Alfamart, satu kotak isi 100 pieces hanya Rp 10.000 rupiah.Â