Sejak Hari Jumat, 23 April yang lalu, anak saya "Si Ganteng" yang duduk di kelas 6 SD mengikuti ujian teori yang dilaksanakan pihak sekolah. Ujian ini akan berlangsung hingga 6 Mei 2021, dan hari ini sudah memasuki hari keempat.
Ujian teori ini dilakukan secara virtual melalui aplikasi zoom dengan soal-soal telah disediakan di google classroom. Setiap hari ada satu bidang studi yang diujikan, dengan total 10 mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, matematika, IPA, IPS, PPKn, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, PLBJ, PJOK, dan SBdP.Â
Pelaksanaan ujian ini dilakukan mirip seperti di sekolah. Hanya saja, siswa bukan berada di ruang ujian nyata, tetapi di ruang ujian virtual. Seluruhnya ada 6 ruang ujian. Si ganteng berada di Ruang 6 bersama 22 siswa lainnya.
Pada saat ujian berlangsung, siswa wajib menyalakan kamera dan mengatur posisi duduk sedemikan rupa sehingga posisi dada sampai kepala terlihat jelas.Â
Ada 2 guru yang mengawasi selama ujian. Di ruang anak saya, dua guru pengawas terdiri dari satu guru konmputer, dan satu guru pendamping.
Seorang guru komputer sepertinya sengaja ditempatkan di setiap ruang ujian virtual, agar proses ujian bisa berlangsung lancar. Kalaupun ada kendala seperti masalah jaringan, perangkat komputer, dan kemampuan siswa dalam mengoperasikan sistem dan aplikasi, guru komputer siap segera membantu.
Berhubung hanya ada 2 guru komputer di sekolah anak saya, beberapa guru lain yang sudah terlatih dalam bidang IT untuk proses belajar mengajar jarak jauh, dilibatkan untuk mendampingi siswa di ruang ujian lainnya.
Guna mengantisipasi keterbatasan pulsa, sejak satu minggu yang lalu, guru wali kelas sudah mendata siapa-siapa saja siswa yang dalam proses PJJ nya menggunakan wifi dan siapa saja yang menggunakan pulsa prabayar. Khusus untuk siswa yang menggunakan pulsa prabayar, sekolah memberi bantuan berupa pulsa internet sebesar 50 ribu rupiah perhari khusus untuk ujian hari pertama dan kedua.
Sejak hari pertama ujian, si ganteng sudah bangun sejak pukul 6 pagi. Setelah bermain sebentar dengan kucing peliharaanya, mandi, mengenakan seragam sekolah, lalu sarapan, pukul 7 pagi, si ganteng sudah wajib mengisi daftar hadir.
Lalu pukul 7.30 harus sudah masuk ke ruang virtual ujian untuk mendengarkan pengarahan dari guru. Tepat jam 8 pagi, ujian dimulai. Durasi ujian antara 1,5 hingga 2 jam, tergantung bidang studi yang diujikan.
Sampai hari keempat ini, setiap bidang studi umumnya terdiri dari 30 soal pilihan berganda dan 5 soal uraian. Untuk soal pilihan berganda bisa langsung dikerjakan di dalam aplikasi. Sementara untuk jawaban uraian, harus dikerjakan di kertas bergaris menggunakan tinta pulpen berwarna hitam, lalu di-upload ke google classroom.
Selama ujian, siswa juga tidak diperbolehkan meninggalkan ruang virtual tanpa seizin guru pengawas. Si ganteng sendiri sampai hari keempat, baru satu kali izin ke kamar kecil.
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang belum juga usai ini, ujian secara virtual jelas membawa kebaikan. Siswa akan terhindar dari risiko penularan virus ini.Â
Andai saja anak-anak usia 11-12 tahun ini dipaksakan untuk mengikuti ujian di ruang kelas di sekolah, tidak ada yang bisa menjamin anak-anak akan aman. Apalagi mereka sudah satu tahun lebih tidak bertemu, tentu akan muncul euforia kegembiraan yang khawatirnya sulit dibendung.
Itu di satu sisi. Bagaimana dengan sisi lainnya? Dua orangtua siswa yang satu sekolah dengan anak saya, yang kini juga menjadi sahabat saya, sampai harus membeli laptop baru demi ujian ini.
Sebelumnya anak-anak mereka mengikuti PJJ melalui Hp. Tetapi untuk ujian ini, demi kelancaran dan kenyamanan anak-anak, mau tidak mau mereka harus merogoh kocek cukup dalam demi sebuah laptop.
Sebenarnya memang tidak ada kewajiban dari sekolah bagi orangtua untuk melengkapi anak-anak mereka dengan komputer jinjing ini. Tetapi ujian menggunakan hp akan lebih sulit ketimbang menggunakan laptop.
Bagaimana dengan siswa yang sudah menggunakan laptop sedari awal PJJ. Ini pun tidak menjamin ujian akan lancar.
Pada hari ketiga saat ujian matematika, seorang siswi di ruang ujian anak saya tiba-tiba menghilang dari ruang virtual. Setelah ditunggu beberapa menit, si anak kembali muncul sembari mengabarkan bahwa laptopnya tiba-tiba mati dan harus dinyalakan dari awal lagi.
Siswi tersebut mengatakan bahwa kondisi laptopnya sudah sering rusak dan harus terus-menerus diisi daya selama laptop dinyalakan. Bila kurang hati-hai dan kabel pengisi daya tersenggol, laptopnya akan langsung padam. Akibat insiden tersebut, siswi ini harus mengulang mengerjakan soal ujian dari awal.
Seorang siswa lainnya dalam waktu yang hampir bersamaan, pun tiba-tiba hilang dari ruang virtual dan baru muncul beberapa menit kemudian. Namun siswa ini sepertinya kesulitan menjelaskan apa yang menjadi permasalahannya. Siswa tersebut hanya mengatakan aplikasi zoom dan aplikasi google clasroom-nya tiba-tiba hilang. Alhasil, siswa ini pun harus mengerjakan soal-soal ujian dari awal.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan masalah-masalah teknis seperti di atas. Apalagi pihak sekolah memberi ruang dan waktu toleransi untuk insiden-insiden tidak terduga seperti ini.
Untuk siswa yang mengalami kendala jaringan maupun perangkat, diberi tambahan waktu sesuai dengan porsi waktu yang sebenarnya. Seperti kejadian di atas, kedua siswa tersebut diberi waktu hingga menjelang pukul 12 siang untuk menyelesaikan ujiannya.
Bagi siswa sendiri, karena sudah sempat membaca dan mengerjakan beberapa soal sebelumnya tentu masih mengingat jawabannya, Dan untuk matematika ada coretan hitungannya di kertas. Hanya saja, ketertinggalan dari teman-temannya dikhawatirkan akan mempengaruhi konsentrasi siswa. Semoga hal ini bisa menjadi catatan bagi sekolah juga orangtua.
Selain itu, terjadi lagi insiden di hari kedua ujian. Saat itu, ujian Bahasa Indonesia. Dua jam waktu yang disediakan bagi siswa, dari pukul 8- 10. Namun, belum sampai satu jam, sudah banyak siswa yang mengumpulkan (submit) hasil ujiannya. Guru bahasa Indonesia ternyata langsung memeriksa hasil ujian tersebut, dan betapa kecewanya guru tersebut, karena nilai-nilai mereka yang submit lebih awal tidak sesuai dengan harapan.
Informasi ini langsung disampaikan guru pengawas, dan mengingatkan anak-anak untuk tidak terburu-buru submit, dan memeriksa dengan teliti hasil pengerjaannya.
Akibat jkejadian ini, mulai hari ketiga kemarin, ditetapkan waktu paling cepat untuk siswa bisa mengumpulkan jawaban, yaitu 10 menit sebelum batas waktu sebenarnya. Jadi bila ujian ampai pukul 10, pukul 9.50 paling cepat bagi siswa untuk bisa submit.
Tak hanya masalah perangkat, ketersediaan jaringan dan pengetahuan seputar internet dan penggunaan aplikasi, ujian virtual seperti ini juga rentan kecurangan.
Bila siswa maupun orangtua terlalu terobsesi dengan nilai cemerlang, banyak celah untuk mengerjakan soal ujian dengan cara tidak jujur. Untuk itu, kejujuran harus diawali dari orangtua. Baru kemudian, orangtua mentransfernya pada anak-anak.
Mendampingi anak saat ujian virtual boleh-boleh saja, sekadar mengawasi dan memberi semangat, serta segera membantu bila menemukan kendala seperti contoh-contoh insiden di atas. Tetapi, hanya sebatas itu.
Biarkanlah anak berjuang, dan mendapatkan hasil dengan usahanya sendiri. Dengan demikian, secara tidak langsung orangtua telah melatih anak-anak untuk mandiri. Anak-anak pun akan mengerti arti sebuah proses dan akan menghargai sebuah hasil. Tidak akan ada hasil maksimal tanpa usaha yang maksimal pula.
***
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H