Seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di Palembang, dianiaya keluarga pasien hingga mengalami luka fisik dan trauma.
Rekaman gambar aksi kekerasan fisik ini cukup viral di media sosial. Saya pun cukup ngeri melihatnya.
Bermula dari orangtua seorang pasien balita yang tidak terima tangan anaknya berdarah setelah infusnya dilepas oleh seorang perawat. Belum sempat perawat tersebut meminta maaf, pelaku langsung menganiayanya. Korban ditampar, ditendang di bagian perut, bahkan dijambak.Â
Setelah kasus ini viral, pelaku ditangkap, dan banjir komentar netizen yang lebih berpihak pada korban, istri pelaku berusaha membuat pembenaran. Istri pelaku merasa ini puncak dari kekesalan mereka terhadap perawat tersebut yang menurutnya tidak profesional.Â
Lepas dari apapun pembelaan dari istri pelaku maupun pelaku, tindak kekerasan dan penganiayaan tidak bisa diterima oleh alasan apapun. Siapapun tidak akan pernah secara sukarela mau disakiti secara fisik, apalagi hingga menimbulkan trauma. Pelaku tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pihak rumah sakit sendiri menyatakan bahwa korban selaku perawat telah bekerja secara profesional dan sesuai prosedur.
Menurut saya, kasus ini mungkin bisa dikatakan sebagai puncak gunung es interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan (nakes) yang selama ini tersimpan bagai gunung es di bawah permukaan laut.
Selama ini mungkin banyak kita mendengar keluhan dari keluarga, teman atau membaca curhat di media sosial perihal ketidakpuasan pasien dan keluarganya atas pelayanan dari perawat yang merawat mereka.
Keluhan perihal suster yang jutek, judes, kasar, sering kita dengar. Mungkin juga kita alami.
Di sisi lain, mungkin pula kita pernah mendengar keluhan dari perawat selaku tenaga kesehatan tentang pasien atau keluarga pasien yang cerewet, judes, tidak sopan, tidak suka diatur, bahkan memerintah suster semaunya.
Memang tidak semua hubungan nakes dan pasien atau keluarganya tidak baik. Banyak pula pengalaman-pengalaman yang berkesan dari hubungan pasien dan nakes yang patut dicontoh.
Adanya beberapa hubungan yang kurang harmonis yang terjadi antara pasien dan nakes selama ini sering terpendam dan tak sampai ke permukaan. Kasus yang baru terjadi beberapa hari yang lalu menjadi puncak hubungan yang tidak harmonis tersebut.
Becermin dari kasus ini, kita semua bisa menimba hikmah dan pelajaran. Khususnya bagi kedua belah pihak, baik dari sisi perawat sebagai tenaga kesehatan, maupun dari sisi pasien dan keluarga pasien.
Pelajaran bagi pasien dan keluarga pasien
Menghormati dan menghargai tenaga kesehatan merupakan bagian dari kewajiban pasien dan keluarganya.
Bagaimanapun nakes adalah penolong saat kita atau keluarga kita membutuhkan pelayanan kesehatan. Tanpa mereka, kesembuhan pasien hanyalah impian yang sulit terwujud.
Pasien dan keluarganya sebaiknya tidak menganggap nakes sebagai pembantu atau pesuruh. Jangan mentang-mentang sudah membayar mahal biaya rumah sakit, berada di kelas yang mahal pula seperti VIP dan kelas satu, lalu bisa seenaknya memperlakukan dan memerintah nakes.
Ketika memerlukan bantuan mereka, sampaikan dengan cara dan kata-kata yang sopan. Tidak perlu berkata kasar, apalagi sampai membentak dan menganiaya.
Pasien dan keluarganya juga sebaiknya memperhatikan dan mengikuti instruksi serta aturan, baik yang disampaikan nakses maupun yang disampaikan pihak rumah sakit. Bagaimanapun, aturan dan instruksi yang disampaikan adalah untuk kepentingan dan kesembuhan pasien.
Bila ada keluhan suster judes atau jutek, terkadang hal itu bersumber dari pasien dan keluarganya.Â
Seandainya dari semula pasien dan keluarganya ramah, sopan, mudah diatur dan mau diajak kerjasama demi kesembuhan pasien, perawat juga pasti akan bersikap sopan dan melayani dengan kesungguhan hati.
Tetapi bila dari awalnya, pasien dan keluarganya bersikap arogan, tidak mau diatur, seenaknya sendiri, bisa saja menyebabkan perawat menjadi kesal dan berakhir dengan berlaku judes dan kasar. Tidak ada asap bila tidak ada api.
Nakes juga manusia. Mereka juga bisa lelah, capek, marah, stres, pusing, bahkan mereka juga bisa salah.
Pelajaran bagi para perawat
Bekerja secara profesional dan mengutamakan pelayanan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar. Apalagi bekerja di bidang jasa seperti pelayanan kesehatan.
Seorang pekerja tidak bisa memilih siapa bosnya. Saya rasa, begitu juga dengan perawat, tidak bisa memilih siapa pasiennya.
Seorang perawat sebaiknya terlatih untuk menghadapi beraneka karakter pasien dan juga keluarganya. Sebisa mungkin tidak melibatkan emosi. Singkirkan pula like and dislike.
Sejak tahap pendidikan, setiap calon perawat ataupun tenaga kesehatan tentunya sangat memahami situasi pekerjaan seperti apa yang akan dihadapi. Berusaha menjadi seperti tembok yang kokoh, yang tidak mudah rontok oleh apapun dan siapapun, bisa menjadi pilihan arif.
Berusaha untuk berpikir dari sisi pasien juga bisa dilakukan. Keluarga pasien yang kelelahan menjaga keluarganya selama perawatan mungkin saja menjadi lelah dan labil secara emosi. Sehingga dengan demikian, perawat bisa dengan mudah mengabaikan semua perkataan pasien atau keluarganya yang kasar atau tidak menyenangkan.Â
Sebagai gantinya, perawat bisa belajar untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang lebih bijak, menghibur dan membangkitkan semangat pasien juga keluarganya.
Tetapi perlu diingatkan kembali, perkataan kasar dan tidak menyenangkan mungkin masih bisa diabaikan. Namun tidak untuk tindakan penganiayaan secara fisik dan menimbulkan trauma. Itu sudah di luar batas kewajaran.
Mari, jalin hubungan harmonis antara pasien dan tenaga kesehatan.
***
Salam
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H