Ayah mendapat surat penugasan baru sebagai kepala sekolah sebuah SMP di kabupaten lain. Meskipun masih berada dalam satu provinsi, kabupaten tujuan kami pindah berada di pulau lain.
Pada masa itu, hampir tidak pernah terdengar hal serupa ini. Guru atau kepala sekolah yang dipindahkan ke luar kabupaten. Umumnya mutasi hanya terjadi di wilayah dalam kabupaten saja. Kecuali bila ada permohonan mutasi dari guru bersangkutan, mungkin saja terjadi mutasi guru antar kabupaten.
BIsa dibilang, kejadian ini merupakan sesuatu yang ganjil pada masa itu. Ditambah lagi, ayah sudah bertahun-tahun mengabdikan diri sebagai guru di sekolah teknik yang dipimpinnya, membesarkan sekolah tersebut menjadi salah satu sekolah yang disegani di kota kami. Pasti ada alasan kepindahan ini. Tak ada asap bila tak ada api.
Meskipun saya tak berani bertanya langsung kepada orangtua, tetapi dari percakapan mereka, saya akhirnya mengetahui bahwa mutasi ini terjadi diduga lantaran adanya kepentingan politilk satu pihak. Dan satu pihak ini tidak mungkin bisa bermanuver "membuang" ayah ke pulau lain, bila tidak memiliki kekuasaan.
Ternyata, kepentingan politik ini diduga keras datang dari pucuk pimpinan wilayah, yaitu kepala daerah petahana yang sedang berkuasa kala itu. Memang dalam beberapa waktu setelahnya, pemilu akan segerra digelar. Dan yang saya dengar, kepala daerah petahana ini tidak disukai banyak pihak, termasuk oleh sebagian besar kader partai pendukungnya. Gaya kepemimpinan yang otoriter, menjadi salah satu poin pemicunya.
Bila sudah tidak disukai, dapat dipastikan, peluang untuk berkuasa kembali akan semakin kecil. Barisan yang tidak mendukungnya semakin hari semakin panjang. Ayah termasuk yang berdiri paling depan dalam barisan tersebut.
Jadi, terkait kisruh politik inilah yang sepertinya menjadi pemicu aksi "bersih-bersih" yang dilakukan oknum kepala daerah. Menyingkirkan suara-suara yang berpotensi besar merenggut kursi kekuasaannya.
Sebagai penguasa wilayah, tentu mudah saja baginya bekerjasama dengan oknum pejabat di dinas terkait untuk menyingkirkan ayah. Sebagai pejabat tertinggi daerah, "aksi licik dalam senyap" sepertinya bukan hal yang sulit untuk dilakukan.
Meskipun aksi "pembersihan" ini sulit ayah buktikan, namun semua petunjuk mengarah ke sana. Teman-teman sekutu ayah di partai pun menduga demikian, tetapi tak mampu berbuat banyak untuk membantu ayah.
Yang terjadi kemudian, keluarga kami diusir dari kampung halamam kami sendiri.Â
Bagiamana tidak kami menyebutnya kampung halaman. Sejak menikah, ayah dan ibu bermukim di kota itu. Kami anak-anaknya pun, lahir dan dibesarkan di sana. Kehidupan kami sudah nyaman di sana. Walupun rumah kami berada di desa kecil di pinggiran kota, namun kami sangat betah tinggal disana. Menempati rumah yang nyaman khas pedesaan, dengan pekarangan yang luas, membuat kami melewati masa kanak-kanak penuh kenangan yang menyenangkan.