Kisah ini terjadi pada tahun 90-an.
Kala itu, negara plus enam dua sedang berada dalam kekuasaan rezim orde baru.
Ayah saya yang berstatus sebagai abdi negara atau PNS, berprofesi sebagai guru merangkap kepala sekolah di sebuah sekolah teknik setingkat sekolah menengah pertama di kota tempat tinggal kami.
Selain sebagai PNS, ayah juga aktif berorganisasi, terutama pada partai politik (saat itu irganisasi ini belum disebut partai) yang didukung pemerintah saat itu.
Tidak hanya aktif di organisasi induk, ayah juga aktif di organisasi-organisasi turunan dari partai politik tersebut, terutama di organisasi kepemudaannya.
Lebih dari 10 tahun berkecimpung di partai politik yang sama, membuat ayah menjadi salah satu kader berpengaruh di sana. Pendapat dan pemikiran ayah sangat diperhitungkan. Menilik dari berbagai jabatan tinggi yang diperoleh ayah di partai tersebut, sepertinya ayah sangat piawai dalam berpolitik.
Jabatan terakhir ayah di sana, adalah bendahara partai di tingkat Kabupaten. Ayah juga sempat menjadi ketua organisasi-organisasi kepemudaannya.
Sekalipun ayah cukup berpengaruh, namun ayah menolak ketika satu kali hendak dicalonkan sebagai anggota DPRD, sekalipun dengan iming-iming fasilitas dan kehidupan yang lebih mapan.Â
Saya melihat, keinginan ayah untuk aktif di partai politik bukan untuk mengejar jabatan dan harta. Namun lebih karena panggilan jiwa untuk berkontribusi lebih pada daerahnya.
Bagaimanapun juga, ayah sangat mencintai profesi guru. Dan ayah pun tidak ingin melepas status PNS-nya yang otomatis dicabut bila memilih menjadi anggota DPRD.
***
Suatu ketika, tak lama setelah Hari Raya Natal dan Tahun Baru, tiba-tiba saja ayah memberitahukan kami anak-anaknya, bahwa kami akan segera pindah ke kota lain.Â