Adanya anggapan bule lebih hebat, sepertinya sempat bertiup di dalam keluarga besar saya. Kebetulan ayah dari ibu saya, memiliki sedikit darah bangsa asing, tepatnya bangsa Portugis.
Jadi, menurut cerita yang saya dengar, kakek dari kakek saya yang berkebangsaan Portugis, menikah dengan seorang gadis berdarah Maluku, yang kemudian menghasilkan keturunan berdarah campuran, termasuk kakek. Saya sendiri tidak ingat apakah kakek pernah menceritakan bagaimana orang Portugis ini bisa menikahi salah satu nenek moyang kami.
Pernikahan antar bangsa ini sebenarnya wajar saja terjadi, karena ratusan tahun yang lalu, Portugis menjadi salah satu bangsa yang pernah menjajah negeri ini.Â
Hanya saja, kondisi ini sering dianggap sebagai suatu kelebihan oleh sebagian anggota keluarga, minus kakek. Tampak dari percakapan tentang hal ini yang beberapa kali saya dengar.
Bahwa kakek saya bisa berpostur tubuh tinggi besar, gagah dan memiliki wajah eropa, juga beberapa anak-anak kakek (paman dan tante) memiliki wajah cantik dan berkulit putih, itu karena ada darah Portugis. Seperti ada perasaan bangga karena sedikit berbeda dari bangsa sendiri. Bangga karena memiliki darah bangsa asing.
Kakek sendiri justru tidak menganggap hal ini sebagai sebuah keistimewaan. Walaupun memang kakek sendiri yang menceritakan silsilahnya, tetapi tampaknya ini dilakukan agar anak-cucu mengetahui riwayat keluarga, bukan untuk gagah-gagahan.
Mungkin karena kakek pernah mengabdi sebagai TNI, dan turut aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, rasa patriotisme dan cinta Tanah Air-nya sangat besar.
Tak hanya itu, salah satu kakek saya (adik laki-laki kakek) pun sering diceritakan kala saya kecil. Kakek ini hijrah bersama keluarganya ke Belanda, beberapa waktu setelah Indonesia merdeka. Mereka dianggap beruntung bisa pindah ke Belanda. Hidup enak, kaya, dan makmur di sana.
Padahal menurut sejarah yang pernah saya baca, bahkan saya dengar dari tutur orang Indonesia yang pindah ke Belanda di awal kemerdekaan Indonesia, kehidupan di sana semula sangatlah berat. Tidak mudah bagi mereka memulai kehidupan baru di negeri orang.
Sempat pula saya mendengar adanya suara penyesalan pada keputusan kakek yang menolak pindah ke Belanda, sekalipun kesempatan kala itu terbuka lebar. Mereka beranggapan, bila kakek memilih pindah ke Belanda, keluarga kakek akan lebih makmur.
Memang sebelum Indonesia merdeka, kakek dan adik laki-lakinya tergabung dalam Tentara Kerajaan Belanda (KNIL).