Tahun 2020 segera berlalu. Dalam lima hari ke depan, kita bersama akan menutup dan mengunci tahun ini tanpa bisa dibuka kembali. Pada waktu yang bersamaan, kita akan membuka lembaran awal di tahun yang baru.
Saat merenungkan lembali, dan kilas balik ke satu tahun yang hampir purna, jujur saya akui ini adalah tahun yang unik dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Banyak hal terjadi menguji kesabaran, sekaligus menjadi bahan tertawaan. Siapa menertawakan siapa? Yang pasti, saya menertawakan diri saya sendiri.
Teperdaya oleh situasi
Ketika di awal pandemi, anak saya jatuh sakit, pikiran saya langsung mengarah ke Covid-19. Gejalanya yang sedikit mirip dengan terinfeksi corona, membuat benak saya membuat analisis sendiri. Selama berhari-hari saya sulit tidur dan tidak nafsu makan. Sibuk memikirkan bagaimana bila virus itu benar menyambangi anak saya.Â
Saat akhirnya hasil pemeriksaan darah menunjukkan anak saya terinfeksi demam berdarah, hati saya masih gundah gulana. Keberadaan anak saya yang harus dirawat di rumah sakit, menimbulkan rasa khawatir virus itu beterbangan di sekitar kami dan menjangkit kami.
Tapi ketakutan saya tidak terbukti. Akhirnya anak saya sembuh, dan hingga hari ini kami sekeluarga bebas dari virus corona.Â
Ketakutan saya memang berlebihan saat itu. Membiarkan pikiran melanglang terlalu jauh. Mengijinkan ketakutan meruntuhkan semangat. Teperdaya oleh situasi.
Hikmahnya, bila sudah menerapakan protokol kesehatan dengan benar, tidak usah berkhayal aneh-aneh dan berujung paranoid. Jalani setiap tantangan dengan tenang dan penuh syukur. Percaya, Tuhan tidak akan mengijinkan masalah melebihi kekuatan manusia.
Bila mengenag kembali, saya akan tertawa sendiri. Menertawakan kebodohan saya, menertawakan ketakutan saya. Sembari dalam hati bertekad, tidak akan mengulang hal bodoh yang sama.
Terlalu berharap pada pejabat
Saya cukup kaget kala beberapa waktu lalu, menonton dan mendengar berita seorang menteri ditangkap badan anti korupsi, akibat dugaan mencuri uang rakyat.
Paling mengagetkan, yang dicuri adalah dana bantuan sosial untuk rakyat miskin, yang besarnya hanya sepuluh ribu rupiah dari setiap keluarga.
Duh, miris, sekaligus heran. Kok tega mengambil jatah rakyat jelata. Apakah gaji mereka kurang besar?
Di masa kesulitan seperti saat ini, rakyat tentunya berharap, pejabat akan lebih memperhatikan rakyat. Kalau perlu, mengorbankan harta miliknya untuk rakyat.
Tadinya, saya pun sangat berharap pejabat kita lebih sensitif. Paling tidak, sensitif dengan penederitaan rakyatnya. Besar harapan saya, mereka bekerja keras, berusaha memberikan yang terbaik untuk rakyat, bangsa dan negaranya.
Aih, ternyata harapan saya terlalu tinggi. Masih ada saja, pejabat yang haus harta kekayaan.
Konyolnya saya, terlalu berharap pada mereka. Benar kata orang bijak : Jangan berharap pada manusia.
Andaipun berharap, jangan menaruh harapan terlalu tinggi. Negeri ini belum ada pada level bebas dan anti korupsi sepenuhnya.
Cara terbaik, tetap doakan negeri ini, juga para pejabatnya, agar bekerja tanpa pamrih. Agar mereka melakukan tugasnya bersama rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.
Pada masa yang tidak mudah ini, Indonesia butuh ketawa. Akan tetapi, jangan sampai rakyat menertawakan pejabatnya, yang bekerja setengah hati, berlaku kotor, tidak jujur, dan berakhir di kursi pengadilan.
Salam.
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H