Dalam budaya kita, sepertinya bukan hal yang aneh, bahwa sebagian besar anak yang tumbuh menjadi dewasa, akan masuk dalam jajaran generasi sandwich.
Setiap anak yang telah menjadi dewasa, lalu bekerja dan memiliki penghasilan sendiri umumnya akan menyisihkan sekian persen dari penghasilannya untuk berbagi kepada orangtua. Entah sebagai penopang hidup utama atau hanya sebagai wujud bakti kepada orangtua.
Selain berbagi pada orangtua, banyak pula yang memiliki kewajiban menghidupi sanak-saudara yang masih kekurangan. Hal yang dilakukan tersebut bisa karena inisiatif sendiri, tapi bisa pula karena permintaan orangtua atau saudara-saudara yang membutuhkan.
Saya sendiri menjadi saksi bagaimana kedua orangtua saya menjadi generasi sandwich pada "masa"nya, yang menopang banyak anggota keluarga.
Ketika saya kecil, banyak sekali saudara yang silih berganti tinggal di rumah. Umumnya mereka tinggal bersama kami dan disekolahkan oleh orangtua saya. Ada tante-tante, paman-paman, sepupu-sepupu, bahkan saudara jauh. Masa itu jamak ditemui keluarga yang seperti keluarga kami, menopang anggota keluarga lainnya.
Selain menopang saudara-saudara, orangtua juga tetap menopang kakek dan nenek baik dari ayah ataupun ibu, meskipun tidak secara rutin mengirimi mereka uang setiap bulan.
Padahal orangtua kami juga bukan orang kaya. Ayah hanya seorang guru pegawai negeri, ibu hanya ibu rumah tangga. Tetapi entah mengapa kami juga tidak pernah kekurangan, sekalipun juga tidak bermewah-mewah.
***
Menjadi generasi sandwich tentu bisa saja dilihat dari sisi negatif atau dari sisi positifnya.
Bila ingin melihat sisi negatifnya, tentu menjadi apapun bisa saja memiliki sisi negatif, bukan hanya menjadi generasi sandwich. Segala sesuatu bisa saja kita cari-cari sisi buruknya.
Hanya saja, itu tidak ada bedanya dengan mengeluh dan bersungut-sungut. Percayalah, hidup yang penuh dengan keluhan dan sungut-sungut sangat melelahkan. Lelah hati, pikiran dan jiwa. Bahkan bisa menimbulkan berbagai macam penyakit.
Hidup ini sesungguhnya bergantung pada "kacamata" kita. Bila kacamata kita hitam pekat, maka hitamlah yang kita lihat. Tetapi bila kacamata kita putih, putih pula yang nampak di mata kita. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menentukan kacamata apa yang akan kita gunakan.
Jadi, alangkah baiknya bila kita memandang generasi sandwich ini dari sisi positifnya saja. Bila pun ada hal negatif di dalamnya, ada baiknya kita belajar untuk meminimalkan akibatnya.
Menjadi pribadi yang murah hati
Menjadi generasi sandwich, menuntut kita untuk selalu berbagi. Apabila hal baik ini terus-menerus kita lakukan, tentu akan membawa dampak positif pula pada diri kita. Hal ini akan menuntun dan membentuk kita menjadi pribadi yang murah hati, tidak pelit, dan tidak menyimpan rejeki hanya untuk diri sendiri.
Melalui berbagi, kita pun belajar bahwa hidup ini bukanlah melulu tentang diri sendiri. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita berbagi kasih dan menebar kebaikan.
Memberi merupakan wujud cinta kasih kita kepada orang lain. Cinta kasih tak cukup dengan kata-kata semata. Cinta kasih sebaiknya disertai dengan perbuatan sebagai bukti nyata. Karena kasih tanpa diiringi perbuatan hanyalah gombalan dan omong-kosong semata.
Selalu bersyukur
Selalu berbagi juga akan menjadikan kita pribadi yang selalu tahu bersyukur. Bahwa paling tidak, kita masih diberi kelebihan rejeki hingga bisa berbagai untuk orang-orang yang kita kasihi dan saudara-saudara kita yang masih kekurangan.Â
Hal ini menjadikan kita tak henti beryukur bisa menjadi saluran yang mengalirkan rejeki pada orang lain.
Memiliki kepekaan atau berempati pada kesusahan orang lain
Dengan rajin memberi dan berbagi, kita dilatih untuk memiliki kepekaan yang tinggi atau berempati pada kesusahan orang lain. Begitu melihat atau mendengar ada saudara atau teman yang sedang kesusahan, hati kita seperti tergerak untuk segera menolong.
Banyak memberi, banyak menerima
Memberi itu seumpama menabur benih di ladang. Semakin banyak benih yang kita tabur, semakin banyak pula hasil yang akan kita tuai atau kita panen. Begitu pula dengan memberi. Semakin banyak kita memberi, maka akan semakin banyak pula rejeki yang kita terima dari Tuhan.Â
Memberi dapat pula kita ibaratkan seperti sungai yang tidak menyimpan airnya untuk dirinya sendiri, namun selalu mengalirkannya ke sungai-sungai kecil, bahkan akhirnya bermuara ke laut. Tetapi sungai tidak pernah kehabisan air. Sungai selalu menerima aliran air dari sumber-sumber air di gunung-gunung.
Begitu pula dengan kita. Di satu sisi kita terus memberi, di sisi lain kita akan terus menerima, dari Sang Sumber Rejeki.Â
Ada saja cara Tuhan untuk memberi kita rejeki, yang sering kali tidak kita duga datangnya. Misalnya, seorang penulis tiba-tiba saja menang dalam sebuah lomba menulis dengan hadiah jutaan rupiah, padahal saingannya banyak dan bagus-bagus. Atau bagi seorang sales, misalnya, tiba-tiba saja ada yang ingin memborong semua produk yang dia jual. Bisa saja, kan?
Tuhan tidak pernah kehabisan cara untuk melimpahi kita rejeki. Apa saja mungkin terjadi. Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.
Menularkan kebaikan
Dengan rajin memberi dan membantu orang lain yang kita kasihi, secara tidak kita sadari kita telah menularkan dan menanamkan kebiasaan baik pada orang lain. Tidak menutup kemungkinan seseorang yang sering kita bantu, juga akan melakukan hal yang sama jika orang yang dia kenal memohon pertolongannya.
Berusaha hidup lebih baik
Dengan turut merasakan sebagai generasi sandwich, kita menyadari pentingnya hidup mandiri dan mempersiapkan masa depan dan hari tua dengan baik.
Dengan kesadaran itu, kita memaksa diri kita untuk berjuang memperoleh kehidupan yang lebih mapan dan merencanakan keuangan dengan tepat, baik untuk masa kini maupun masa depan. Sehingga pada akhirnya, saat ini atau di masa tua nanti, paling tidak dari sisi keuangan, kita tidak akan bergantung pada orang lain
***
Pola hidup generasi sandwich sebenarnya tidak ada bedanya dengan pola hidup tolong-menolong. Yang berkelebihan membantu yang berkekurangan. Yang kuat menopang yang lemah. Semua itu pula adalah bagian dari proses kehidupan yang harus kita lewati.
Di atas semuanya itu, satu hal sebaiknya tetap diingat, bahwa keluarga inti tetap harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai karena terlalu asyik membantu orangtua dan saudara-saudara yang lain, pasangan juga anak-anak yang masih harus dibiayai, diabaikan.
Lakukan semua sesuai porsinya masing-masing. Dan porsi untuk pasangan dan anak-anak yang masih wajib dinafkahi harus mendapatkan porsi terbesar. Seandainya semuanya dilakukan dengan benar dan sesuai dengan porsinya, niscaya jalannya kehidupan akan terasa selalu indah.
Salam
Martha Weda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H