Kemarin, dari obrolan di grup wa ibu-ibu di lingkungan tempat saya tinggal, diketahui bahwa seorang anak kelas 2 SD warga satu RT dengan kami terpapar Covid-19.
Si anak diketahui beberapa minggu ini telah mengikuti kegiatan pembelajaran tatap muka di sebuah sekolah di wilayah kami.Â
Sontak berita ini mengagetkan kami semua, terutama seorang ibu yang anaknya juga bersekolah di tempat yang sama dengan anak yang terpapar tadi.
Seorang ibu lain langsung mengingatkan kami semua untuk tidak mengijinkan anak-anak bermain di luar rumah.
Untunglah ada grup wa ibu-ibu ini, sehingga informasi tadi cepat beredar dan mengingatkan kami untuk lebih waspada.
Karena berdiam di rumah saja, kami jarang bertemu muka. Hanya WAG ini menjadi ajang silaturahmi dan sumber informasi berita-berita yang beredar di wilayah kami.
Hari ini, sejak pagi hingga sore, suasana di sekitar tempat tinggal kami sangat lengang dan sepi. Tidak terlihat atau terdengar aktifitas apapun yang warga lakukan di luar rumah.
Tadi pagi pun saat keluar rumah berjalan kaki menuju sebuah warung kelontong, jalanan di lingkungan RT kami sangat sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat.
Anak-anak pun tidak ada yang terlihat bermain di luar rumah. Padahal sejak era kenormalan baru, anak-anak banyak yang telah bermain kembali di luar rumah, ke sana kemari tanpa mengenakan masker. Saat pagi hari pun biasanya ada saja satu dua ibu-ibu yang membawa anak bayinya keluar rumah berjalan-jalan menggunakan kereta bayi atau hanya sekedar digendong. Pagi ini tidak terlihat sama sekali.
Apakah karena ada warga yang terpapar? Sepertinya begitu.
Hanya yang sangat disesalkan, hal seperti ini seolah menjadi kebiasaan di masyarakat kita.
Apabila belum ada kejadian nyata di sekitarnya, masyarakat kita cenderung bersikap abai dan masa bodoh.
Mengapa harus ada dulu warga di lingkungan terdekat yang terpapar virus ini baru warga lainnya dan para orangtua sadar untuk menjaga jarak, dan menjaga anak-anaknya tetap tinggal di rumah serta menerapkan protokol kesehatan?
Untuk sekolah itu sendiri, saya juga menyesalkan keputusan pihak sekolah juga orangtua yang memaksakan pembelajaran tatap muka di tengah situasi yang masih sangat berbahaya untuk anak-anak.
Memang belum ada kabar lebih lanjut tentang hasil penelusuran bagaimana dan dari mana si anak tadi bisa terpapar. Apakah dari sekolah, keluarga atau dari tempat lain. Akan tetapi pilihan terbaik dalam situasi ini, terutama untuk anak-anak di zona berbahaya adalah tetap di rumah saja. Bermain dan belajar dari rumah.
Semoga kejadian ini menyadarkan warga, orangtua, dan juga berbagai lembaga pendidkan bahwa pandemi ini belum berakhir, keswaspadaan tetap harus dijaga, dan protokol kesehatan mutlak dilaksanakan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H