Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ini Salah Satu Alasan Saya Berhenti Jadi Wanita "Kantoran"

2 Agustus 2020   20:33 Diperbarui: 3 Agustus 2020   08:58 2578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Sumber: Kompas.com)

Setelah cuti melahirkan saya berakhir, saya kembali bekerja dan meninggalkan si Ganteng, anak saya yang kala itu baru berusia 2,5 bulan dalam pengasuhan orang lain selama saya bekerja.

Karena ibu pengasuh si ganteng ini masih memiliki anak kecil usia 7 tahun yang juga butuh pengawasan, maka si ganteng anak kami dibawa ke rumahnya selama saya bekerja. Jarak rumahnya hanya sekitar 150 meter dari rumah kami.

Jadi teknisnya, saat saya akan berangkat kerja, si ganteng dijemput, dan saat kembali dari bekerja, si ganteng diantar kembali ke rumah.

Si ibu ini anak dari seorang ibu penjual jamu langganan selama saya cuti. Ketika saya meminta bantuannya mencarikan pengasuh, beliau menawarkan anaknya yang tinggal serumah dengannya.

Saya memutuskan untuk menerimanya karena keluarga ini sangat baik, ramah, dan sayang pada anak kecil. Kebaikan mereka bukan hanya pada kami, kepada siapapun kebaikan mereka terpancar.

Si ganteng mereka rawat, mereka jaga tidak ada bedanya seperti anak dan cucu sendiri. Apalagi keluarga ini sangat merindukan memiliki anak lelaki yang tidak didapatkan sampai artikel ini ditulis, sehingga curahan kasih sayang pada si ganteng sangat berlimpah.

Saya pun bisa tenang bekerja, tanpa perlu khawatir. Namun demikian saya tetap berpesan agar mereka cepat menghubungi saya melalui telepon bila terjadi sesuatu atau ada hal mendesak berkaitan dengan si ganteng. 

Ketelatenan mereka merawat si ganteng terbukti dengan si ganteng yang sangat sehat dan berat badannya yang terus meningkat signifikan. Pipinya yang tampak semakin tembam bila ia tertawa, serta pantat montoknya yang bergoyang-goyang dalam balutan popok celana ketika ia belajar berjalan, sungguh menggemaskan. Saya dan suami pun cukup puas melihat pertumbuhan dan perkembangannya yang pesat.

Akan tetapi kenyamanan ini tidak berlangsung lama. Menjelang usia anak saya satu tahun, keinginan untuk berhenti bekerja dan mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga sangatlah besar. 

Sebenarnya keinginan ini mulai muncul sejak si ganteng mulai mengerti arti kedekatan dengan seseorang. Si ganteng sangat dekat dengan ibu pengasuhnya. Bila ditinggal selepas mengantarnya kembali ke rumah, si ganteng serigkali menangis dan terlihat sangat kehilangan.

Beda halnya bila saya hendak berangkat atau sepulang dari bekerja. Ekspresi wajahnya datar saja seperti tidak terjadi apa-apa. Hiks...

Bila hal ini terus berlanjut, sungguh ironi, saya ibunya tapi tak diinginkan dan diharapkan kehadirannya. Tak pernah terlintas di benak dan saya tidak ingin menjalaninya.

Seandainya ada keluarga atau orangtua yang tinggal satu kota dengan kami yang bisa saya percayakan, mungkin akan lain ceritanya. Akan tetapi status saya dan suami sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga memaksa kami berjuang sendiri. 

Sempat ada opsi dari ibu mertua untuk mengijinkannya mengasuh si ganteng dengan syarat membawanya pulang ke Blitar. Namun saya menolaknya. Saya tidak sanggup bila harus berpisah jauh dari anak.

Di samping karena merasa kurangnya kedekatan dengan anak, maraknya pemberitaan kekerasan seksual pada anak saat itu cukup membuat saya cemas, dan hal inilah yang paling memberatkan saya.

Saya percaya pada keluarga pengasuh si ganteng, tetapi saya tidak bisa percaya pada orang-orang yang bertandang atau yang berada di sekitar mereka, karena saya tidak mengenal mereka.

Sempat pula terpikir untuk mecari pengasuh baru yang tinggal menetap bersama kami agar lebih mudah mengawasinya. Namun ukuran rumah yang kecil minimalis tidak memungkinkan hal itu terwujud.

Ditambah lagi saya memang kurang menyukai konsep tinggal serumah dengan asisten rumah tangga atau siapapun yang statusnya sebagai pekerja dari si empunya rumah. Rasanya seperti kehilangan ruang privacy.

Bila saya berhenti bekerja, saya akan selalu dekat dan berada di sekitar anak. Dekat dengan anak berarti saya dapat menjaganya dari berbagai bahaya atau orang-orang yang mungkin saja berniat mencelakakannya termasuk kekerasan seksual. Situasi sekarang, anak perempuan atau anak laki-laki sama pentingnya dilindungi dari tindak kekerasan seksual.

Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke waktu. Pelakunya pun sebagian besar adalah orang-orang terdekat atau mereka yang berada di lingkungan sekitar anak.

Bagaimana kalau umurnya sudah 3 tahun, atau mungkin 5 tahun, lalu ada orang dewasa mengajaknya bermain dengan maksud jahat, dan lepas dari pengawasan ibu pengasuhnya, lalu terjadi pelecehan atau kekerasan seksual. Duh, tak bisa saya bayangkan.

Sekalipun di sisi lain ada keinginan untuk tetap memberi kontribusi dalam membangun ekonomi keluarga melalui penghasilan saya, juga memanfaatkan ilmu dan pendidikan yang sudah saya dapatkan dengan membangun karir, pada akhirnya keinginan untuk berada di dekat anak jauh lebih besar daripada keinginan apapun.

Uang bisa dicari, tetapi masa kecil anak tak bisa diulang kembali.

Menilik adanya kecenderungan meningkatnya gaya hidup yang mengikuti peningkatan penghasilan, maka berapapun uang yang didapatkan dari hasil bekerja tidak akan pernah cukup. Yang sebenarnya adalah "dicukup-cukupkan".

Andaikata sampai terjadi hal buruk pada anak akibat ketidakmampuan mengawasi karena saya bekerja, tentu akan menjadi penyesalan tak berujung sepanjang hayat. Ini yang saya hindari. Jangan sampai terjadi pada anak-anak kita.

Bekerja, menghasilkan uang, dan membangun karir tidak melulu dari kantor. Di rumah pun banyak hal yang bisa dilakukan. didukung dengan kemajuan teknologi di era digital ini. Banyak pekerjaan yang mampu menghasilkan rupiah meskipun hanya dikerjakan dari rumah.

Akhirnya, di usia anak saya satu tahun, saya resmi berhenti jadi wanita kantoran.

Beberapa tahun setelahnya sering timbul penyesalan juga keinginan untuk kembali bekerja. Namun seiring berjalannya waktu, keinginan itu perlahan terbang dan tak terpikirkan lagi. Apalagi sejak saya mampu menyibukkan diri dengan berbagai hal yang berkaitan dengan hobi dan passion saya, memanfaatkan kemajuan teknologi, dan sedikit-sedikit bisa menghasilkan uang.

Kini 11 tahun sudah saya mengabdikan diri sebagai ibu rumah tangga. Saat ini pun sudah tidak ada lagi penyesalan. 

Tatkala saya mampu melihat dan mendampingi pertumbuhan dan perkembangan anak, menjaganya dari segala bahaya dan celaka, melindunginya dari berbagai kemungkinan kejahatan pada anak termasuk kekerasan seksual, menjadi guru privatnya, menjadi temannya bercanda, serta menjadi "sahabat karib"nya, sungguh karunia Tuhan yang luar biasa yang tiada henti saya syukuri.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun