Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sudah Siapkah Anak Anda Masuk SD?

10 Juli 2020   14:18 Diperbarui: 16 Juli 2020   21:30 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penambahan syarat usia dalam Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi di DKI Jakarta yang baru-baru ini bergulir menimbulkan banyak polemik. Banyak orang tua siswa yang tidak terima karena anak-anaknya tidak memenuhi syarat usia, alias masih terlalu muda. 

Saya sendiri dulu memasukkan anak saya "si Ganteng" ke Sekolah Dasar di usia 6 tahun 9 bulan. Sebagai orang tua sempat bimbang saat akan memasukkannya ke SD. Kalau kami memasukkannya setahun lebih awal, si ganteng bahkan belum genap 6 tahun. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya kami putuskan untuk menunggu satu tahun. Sambil menunggu kesiapannya, kami menyekolahkannya ke Taman Kanak-kanak {TK}. 

Salah satu pertimbangan adalah kami ingin si ganteng benar-benar menikmati masa kecilnya, dengan waktu bermain yang lebih banyak, dan kemudian benar-benar siap saat memasuki fase sekolah.

Bukannya tidak banyak dengungan dari rekan-rekan orang tua yang membangga-banggakan anak mereka yang berusia muda saat masuk SD. Tapi saya menguatkan hati, tidak mau ikut-ikutan. Karena setiap orang tua menerapkan konsep pendidikan anak yang berbeda-beda. Kemampuan setiap anak pun berbeda-beda pula. Saya tidak ingin mengedepankan keinginan saya, lebih memilik kenyamanan dan kesiapan anak.

Pertimbangan kami tidak salah. Saat masuk kelas 1 SD, si ganteng sudah lancar membaca dan menulis. Si ganteng pun sangat bersemangat dan tidak terbeban dengan materi pelajaran dan tugas-tugas yang cukup banyak.

Kebijakan Pemprov DKI kali ini mungkin saja adalah kecenderungan suara hati dari para pendidik yang sesungguhnya, yang selama ini terpendam, terkumpul dan menggunung. Lalu meletus bagai gunung berapi melalui aturan ini. 

Buah dari gengsi beberapa orang tua siswa yang berlomba-lomba menyekolahkan anak mereka sedini-dininya. Seperti ada dalam pertandingan dan kalap untuk menjadi pemenang. Lalu ada rasa bangga bila anak mereka menjadi siswa termuda di sekolah. Tidak peduli apakah anaknya mampu mengikuti pelajaran di kelas atau tidak. Ini terjadi umumnya di awal masuk pendidikan formal di Sekolah Dasar.

Memang tidak terjadi pada semua orang tua, hanya pada mereka yang sangat terobsesi dengan usia muda.

Menyekolahkan anak sedini mungkin tidak salah. Apalagi bila si anak sudah sangat siap. Karena banyak juga anak-anak yang sudah mampu bahkan minta bersekolah di usia yang bahkan masih sangat muda.

Namun jangan lupa bahwa setiap anak diciptakan berbeda. Tidak bisa diberi label semua anak bisa mulai bersekolah di usia sangat dini. Anak orang lain mungkin bisa, tapi anak kita belum tentu. Begitu pula sebaliknya.

Di sini orang tua berperan sebagai filter pertama, apakah anak sudah siap atau belum. Kalau si anak sudah siap, mengapa tidak. Tidak perlu menunggu usia 6 atau 7 tahun. Tapi kalau memang dirasa belum mampu, mbok ya sabar, tunggu sampai cukup umur, sesuai dengan yang dianjurkan pemerintah.

Lagipula tidak ada salahnya membiarkan anak banyak bermain di usia kecilnya. Bukankah masa kecil tidak akan terulang lagi? 

Bermain termasuk proses belajar
Jangan mempersempit ruang belajar anak. Bermain juga adalah bagian dari proses belajar. Melalui bermain anak bisa belajar banyak hal. 

Bermain dengan hewan peliharaan misalnya, si anak bisa dikenalkan dengan bagian-bagian tubuh hewan serta fungsinya. Atau saat bermain di kebun atau di taman, kita bisa mengenalkan mereka dengan berbagai jenis tumbuhan, bagian-bagian tumbuhan dan berbagai serangga yang berkontribusi pada proses reproduksi dan tumbuh kembang tanaman. Dari kedua hal tersebut, secara tidak langsung anak telah belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebelum masuk sekolah formal.

Belajar berhitung dan matematika sederhana pun bisa kita ajarkan melalui kegiatan sederhana di rumah. Misal, ajak anak menghitung jumlah mobil-mobilan yang dia punya. Lalu seluruh mobil-mobilannya kita bagi menjadi dua bagian, dan si anak kita minta menghitung setiap bagian, lalu menjumlahkannya.

Atau kita ambil sebagian dan si anak kita minta menghitung sisanya. Metode sederhana ini secara tidak langsung mengenalkan anak pada penjumlahan dan pengurangan.

Masih banyak lagi metode belajar untuk anak di rumah yang bisa kita lakukan. Dituntut kreativitas dan pendampingan orang tua untuk meningkatkan minat belajar anak.

Pengalaman pribadi
Saya sendiri punya pengalamam mengajar anak, yang karena nafsu orang tua, tertatih-tatih mengikuti pelajaran di SD.

Saat si ganteng sudah bersekolah di SD dan mulai mandiri, saya mulai punya banyak waktu luang. Lalu karena saya tidak bekerja dan sering dijadikan tempat curhat beberapa rekan orang tua siswa di sekolah si ganteng, maka saya tergerak untuk sekalian saja membuka les di rumah, untuk siswa SD. Kebetulan saya suka anak kecil dan juga suka mengajar. Dengan begitu, saya tetap punya aktivitas di rumah sambil tetap bisa mendampingi anak.

Kala itu ada seorang anak laki-laki yang ikut belajar bersama saya. Anak ini saya sebut sebaga "korban" nafsu orang tua. Kebetulan anak ini, sebut saja namanya Boy, satu sekolah dengan si ganteng. Boy masuk SD di usia 5 tahun 6 bulan. 15 bulan selisihnya dengan anak saya.

Boy, menurut saya, masih ingin banyak bermain. Mendengar dari cerita orang tuanya, pada saat akan memasukkan Boy ke SD, mereka sebenarnya sangat sadar bahwa anak nereka belum siap. Namun mereka seolah menutup mata. Pertimbangannya, bila menunda satu tahun saja, Boy akan berusia 6 tahun 6 bulan. Dan bagi mereka, usia itu sudah terlalu tua untuk masuk SD! Hmm...

Durasi belajar 1,5 jam, akan terasa lama dan melelahkan bila ada Boy di kelas. Boy tidak betah duduk diam, tidak bisa konsentrasi dalam waktu lama dan selalu mengganggu anak-anak lainnya.  Sangat sulit mengajaknya untuk belajar. Suasana kelas akan kacau bila ada Boy. 

Saat teman-temannya serius mendengarkan pengajaran, Boy pun akan sibuk membuat kegaduhan. Jalan kesana kemari, mengajak ngobrol dan bermain teman-temannya. Boy pun sulit diminta untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Belum ada rasa tanggungjawab dan rasa takut bila tidak mengerjakan tugas. 

Satu kali, di hari Minggu, ketika memberi tambahan les karena minggu besoknya ada Penilaian Tengah Semester, saya sampai harus meminta tolong suami untuk khusus mengawasi si Boy, agar proses belajar mengajar berjalan lancar. 

Saat anak-anak lain sudah lancar membaca dan menulis, si Boy masih tertatih-tatih, bahkan seringkali masih mengeja huruf demi huruf. Bagaimana bisa mengajarkan materi pelajaran di dalam buku, bila si anak sendiri masih belum lancar membaca. Bagaimana bisa mengerjakan tugas dengan mudah, bila si anak sendiri tiak paham dengan materi yang diajarkan, dan belum lancar menulis pula.

Sepertinya saat itu Boy memang belum siap dengan ritme belajar yang cepat dan materi pelajaran yang banyak. Seharusnya Boy mendapatkaan pelajaran-pelajaran yang ringan terlebih dulu. 

Beberapa waktu berinteraksi dengan Boy, saya melihat pada akhirnya Boy stres dan membenci kegiatan belajar, lalu melampiaskannya dengan marah dan menangis bila diajak belajar. Sayang sekali, padahal saya lihat sebenarnya Boy cukup pintar. Dalam rentang waktu konsentrasi Boy yang sangat sedikit, Boy mampu mengerjakan beberapa soal dengan baik. Tapi ya begitu, hanya mampu berkonsentrasi beberapa menit. Setelah itu, kembali Boy ingin bermain.

Saya pun akhirnya menyerah. Saya tidak mungkin mengorbankan anak-anak yang lain. Saya pun terpaksa menyarankan orang tuanya untuk mencari guru privat saja.

Sebenarnya saya ingin menyarankan mereka untuk berkonsultasi dengan psikolog anak. Namun kemudian saya memutuskan untuk tidak terlalu jauh masuk dalam pola didik mereka.

Belum tentu pula mereka bisa menerima saran saya dengan baik. Karena masih banyak awam yang memberi stigma negatif pada anak yang dibawa ke psikolog.

Di waktu-waktu berikutnya saya mendengar bagaimana si Boy keluar masuk berbagai Bimbingan Belajar. Bahkan orang tuanya sempat membayar guru privat, namun guru privat pun akhirnya menyerah juga.

Bikin susah sendiri? Iya. Ini akibatnya terlalu memaksakan keinginan tanpa melihat usia dan kemampuan anak. Bukankah lelah sendiri harus bolak-balik memasukkan anak ke berbagai bimbingan belajar.

Belum lagi, orang tua jadi benar-benar repot mengurusi semua tugas-tugas anak, sementara si anak tidak peduli dan sibuk bermain. Seandainya saja lebih sabar menunggu satu tahun lagi saja, mungkin Boy sudah benar-benar siap dan akan menyukai kegiatan belajar.

Menilik dari Kompas.com, yang dirangkum dari laman resmi Sahabat Keluarga Kemendikbud RI, ada 4 aspek yang mendasari pemerintah menetapkan usia 7 tahun, minimal 6 tahun untuk masuk SD. 

# Aspek Fisik
Di usia 7 tahun, anak dianggap paling siap secara fisik, sebagai persiapan untuk mampu diam di kelas sampai siang. Gerakan motoriknya sudah lebih bagus. otot dan syarafnya pun sudah terbentuk. Misalnya, anak tidak perlu lagi dibantu untuk memegang pensil dan mampu menulis sendiri. Sementara anak usia kurang dari 6 tahun terkadang belum siap, karena anak-anak usia ini masih suka bermain.

# Aspek Psikologis
Dalam teori perkembangan, anak mulai mampu berkonsentrasi pada usia di atas 6 tahun, Semakin bertambah usia, kemampuan konsentrasi meningkat dan mampu memilah materi secara baik. 

Anak yang terlalu dini masuk SD, umumnnya masih sulit berkonsentrasi, karena si anak masih mengembangkan kemampuan geraknya. Sehingga meskipun secara kemampuan intelektual si anak sudah mampu menyelesaikan soal -soal yang disediakan, anak seringkali bermasalah khususnya di kelas satu.

# Aspek Kognitif
Anak diharapkan sudah mampu membaca, menulis dan berhitung sederhana saat akan masuk ke SD. Selain itu, anak diharapkan mampu mengikuti instruksi, paham dan bisa mengerjakan soa-soal yang disediakan.

# Aspek Emosi
Anak yang terlalu dini masuk SD umumnya cukup matang secara akademik. Namun biasanya kematangan emosi dan kemandiriannya belum maksimal. Sementara di SD, anak diharapkan lebih mandiri dan tidak bergantung lagi pada orang tuanya.

Apabila anak masih minta ditunggu bunda atau mudah menyerah terhadap tugas yang diberikan dan tidak mau mengerjakan PR, atau lebih senang bermain, berarti anak belum siap secara emosi.

Kembali ke judul di atas. Siap atau tidaknya anak, tentu orang tua lebih tahu. Dan untuk itu, penting bagi orang tua untuk mempertimbangkan kesiapan anak dalam empat aspek di atas sebelum memasukkannya ke SD. 

Bila masih belum yakin, bisa dikonsultasikan ke psikolog anak apakah anak sudah siap atau belum. Karena keberhasilan dan perkembangan anak juga ditentukan oleh keputusan awal memasukkan anak ke SD.

Tabik.

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun