Satu kali, anak saya "si ganteng" ribut sekali minta dibelikan mainan catur dan monopoli. Dia terinspirasi setelah menonton aksi seorang YouTuber yang bermain catur dan monopoli raksasa.
Akhirnya, di hari Sabtu, saya dan suami pergi ke sebuah toko mainan yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal kami. Ternyata cukup banyak jenis mainan yang dijual di sana. Diantaranya ada catur dan monopoli pesanan si ganteng.
Betapa senangnya dia saat saya pulang dari toko mainan menenteng tas belanja berisi mainan pesanannya.
Si ganteng langsung mengajak saya dan ayahnya bermain bersama. Tentu saja saya tidak bisa. Saat itu masih jam 9 pagi. Tugas rumah tangga sudah mengantre, tidak mungkin saya tinggalkan. Ayahnya pun masih sibuk membersihkan teras dan halaman rumah.
Sekitar satu jam kemudian, saat sang ayah telah selesai dengan tugas-tugasnya, telah mandi pula dan sedang sibuk dengan gawainya di kamar, si ganteng langsung mengajak ayahnya, bermain bersama.
Tapi ayahnya terlihat malas meladeni. Tampak sibuk dengan gawainya. Saya yang sedang di dapur mendengar percakapan anak dan ayah. Ayahnya meminta si ganteng untuk bermain sendiri.Â
Akhirnya, si ganteng pun kalah. Dia dengan cemberut keluar dari kamar. Lalu menyibukkan diri membuka kanal YouTube.
Melihat hal ini, saya merenung. Sepertinya suami saya tidak menyadari, bahwa ada konsekuensi yang harus diterima dan dilakukan ketika memutuskan untuk hanya memiliki satu anak, alias anak tunggal.
Ya, dari semula, suami memang hanya ingin memiliki satu anak saja. Suami memiliki pertimbangan-pertimbangan sendiri, dan saya pun bisa memahaminya. Namun, ternyata keputusan ini tidak diimbangi oleh pemahaman akan konsekuensi yang harus diterima dari keputusan ini.
Siap menjadi teman anak
Inilah konsekuensi awal yang harus siap dihadapi para orangtua yang hanya memiliki satu anak. Terutama ketika anak masih kecil, dan dunianya hanya bermain dan bermain, orangtua sebaiknya siap menjadi teman bermain anak.