Pada suatu hari, Zaki yang sangat suka membaca buku menjadi orang yang tidak suka dengan buku. Ketika ia ditanyai akan hal tersebut, mengenai penyebabnya. Ia akan menjawab: "Buku sudah menutup pikiranku". Zaki kemudian menjadi orang yang sangat pendiam, pemurung, dan pemarah. Orang-orang yang berada di sekitarnya satu persatu mulai menjauhinya. Bahkan, teman dekatnya sendiri sudah menganggapnya sakit jiwa dan menjauhinya.
Hari demi hari ia menjalani hidupnya di dalam ruangan yang penuh dengan tumpukan buku-buku. Buku-buku itu mulai dari buku pelajaran, cerpen, novel, sampai ke buku-buku bersejarah berada di ruangan tempat ia berada. Bahkan, ia adalah maniak sebenarnya dari pencinta buku. sering kali ia membeli buku-buku misterius yang tidak diketahui jelas identitasnya. Buku-buku misterius itu mulai dari hanya sebuah tumpukan tulisan tanpa nama penulis, sampai buku dengan nama penulis tanpa satu tulisan pun.
Semua keanehan ini sebenarnya bermula saat ia hendak menyelesaikan novel bergenre sejarah komedi. Buku itu memiliki tiga musim, di setiap musim memiliki tiga ratus halaman penuh dengan tulisan. Awal mulanya, saat ia membaca musim yang pertama tidak ada keanehan yang terjadi. Akan tetapi, keanehan mulai terjadi ketika ia memasuki musim ke tiga, perubahan mulai terjadi. Perubahan yang memengaruhi jiwa dan juga fisiknya. Ia yang dulunya dikenal sebagai orang yang aktif dan ramah, kini menjadi orang yang sangat pasif dan mudah tersinggung. Ditambah lagi, cahaya diwajahnya benar-benar sudah menghilang dari dunia ini.Â
Di akhir tahun, saat musim dingin, ia berjalan keluar pada malam hari. Ia ingin melihat-lihat keramaian yang sudah tidak dapat ia nikmati seperti biasanya lagi. Lampu-lampu hias yang menerangi jalan dan toko-toko, tidaklah dapat mengembangkan pupil matanya lagi. Saat ini, matanya benar-benar kosong melihat kesenangan yang berada di sekitarnya.
"Eh, maaf." Ucap seorang lelaki yang berbadan agak besar darinya. Zaki yang memiliki badan yang lebih pendek dari lelaki itu, ditambah kurus pula, menatap wajah lelaki besar dengan berewok yang lebat dan tercukur rapi itu. "berhati-hatilah anak muda." Tukasnya sambil menatap lelaki itu dengan wajah datar. Melihat wajah datar Zaki yang terkesan menyeramkan membuatnya berkeringat dingin dan segera menjauh dan meninggalkannya.
Butiran-butiran salju yang putih dan suci mulai turun. Zaki menatap ke arah langit yang gelap itu, dan membuka matanya lebar-lebar. Sehingga, salah satu butiran salju itu mengenai matanya. Namun, ia tidak bergeming dan terus menatap ke arah langit yang hitam yang mengeluarkan benda putih dan dingin itu. Sambil berkata: "apakah mungkin langit yang hitam ini dapat menghisap seluruh penduduk bumi ini?" Ungkapnya dengan wajah mulai bertambah gelapnya dan suramnya, sesuram langit yang kosong itu.
Ia melanjutkan perjalanan tanpa arah. Sampai kakinya terhenti di sebuah taman yang tidak terlalu banyak pengunjungnya. Ia kemudian duduk di kursi taman itu sambil menatap arlojinya. "Sepertinya sudah saatnya, lagi." Gumamnya sambil menatap kolam pancuran air yang sudah membeku karena dinginnya cuaca beberapa hari ini.
Sepulangnya ia di rumah, ia menyalakan api di perapian guna menghangatkan suhu ruangan. Setelah itu ia, pergi ke sebuah ruangan yang memiliki lorong cukup panjang. Di sana, ia terus berjalan menyusuri lorong dengan cahaya remang-remang dari lilin yang tertempel di dinding lorong.
Sesampainya ia di ujung lorong, tepatnya di depan sebuah pintu kayu yang lumayan tua. Ia diam terlebih dahulu, kemudian mulai melepas topi dan mantel tebalnya, lalu menggantungkannya di tempat ia biasa menggantungkannya.
Pertama-tama, ia memerhatikan arlojinya lagi. "oke, tiga puluh detik lagi." Gumamnya. Setelah tepat tiga puluh detik kemudian, pintu tua itu berdeklik seolah pintu dibuka dengan kunci. Zaki kemudian tersenyum, dan menyentuh gagang pintu tua yang terbuat dari logam yang mulai berkarat. "Krikkkkk ..." bunyi suara khas pintu yang engselnya tidak pernah dipoles dengan minyak guna mengurangi suara pintu yang mengernyit. Ia pun masuk ke dalam ruangan yang ternyata juga sebuah lorong atau koridor di dalam koridor. Namun, berbeda halnya dengan yang tadi. Koridor ini tidak memiliki penerangan sama sekali.Â
Zaki terus berjalan menyusuri koridor itu, agak lama, sampai setitik cahaya dari ujung lorong mulai terlihat. Perlahan tapi pasti, setitik cahaya itu perlahan bertambah dekat dan bertambah besar
 Kini, cahaya itu sudah tepat berada di hadapannya. Ia menatap ke depan, meskipun wajah dan badannya sudah diterangi oleh cahaya, tetapi wajah datarnya dan suramnya sama sekali tidak lenyap. Ia perlahan melangkahkan kakinya ke dalam cahaya itu, sampai seluruh tubuhnya lenyap bersamaan dengan cahaya itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H