Mohon tunggu...
Berlian Alfin
Berlian Alfin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca adalah jendela dunia bagi yang ingin melihat betapa luasnya alam ini. Jiwa, pikiran, atau hati juga membutuhkan asupan yang dapat membawa kepada hal yang positif, dan salah satunya dengan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kota Menangis

14 Desember 2023   19:47 Diperbarui: 14 Desember 2023   19:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Pemandangan kota ini sangatlah buruk. Tidak ada keindahan lagi sama sekali. Perencanaan para pemimpin terhadap kota ini pada seratus abad tahun yang lalu benar-benar gagal. Daratan kota ini telah menjadi hamparan logam besi sepanjang kota sampai ke perbatasan kota.  

     Perbatasan kota di tutupi dengan tembok yang menjulang tinggi. Pesawat saja tidak bisa melewati tembok itu saking tingginya. Mungkin bisa saja ilmuan menciptakan pesawat untuk melampaui pembatas itu. Tetapi, sejak pemerintah pertama yang membangun kota itu, ia tidak pernah mengizinkan siapa saja yang hendak melampaui pembatas itu. Tentu saja tidak ada alasan yang masuk akal. 

     Cuaca di kota ini pun lebih sering hujan, sehingga memakai pakaian bagus di bawah pancaran sinar matahari hanyalah fatamorgana yang sering muncul di siaran televisi kota dan papan-papan iklan. 

    Aku tidak pernah mempermasalahkan langit yang menangis itu, karena menurutku lebih bagus ia menangis dari pada melihat gumpalan awan hitam yang tak kunjung menghilang itu. Karena, itu benar-benar menyeramkan! 

   "Ren" panggil ibuku dari arah dapur. 

"bisakah kamu membantu ibu menyiapkan makan malam? sebentar lagi ayah dan kakak laki-lakimu akan pulang" Ujarnya. 

     Kami tinggal di sebuah apartemen sederhana. Kami tinggal berempat bersama. Kakak laki-lakiku baru saja lulus dari perguruan tinggi dan telah mendapatkan pekerjaan. Sedangkan aku masih di bangku SMP. 

  "Apakah aku boleh menjadi desainer bu?" tanyaku saat makan malam tiba. 

  "tentu sayang." jawabnya. 

  "Tatapi, kamu harus betul-betul mendalami bidang tersebut dan jangan setengah hati" 

     Kakak laki-lakiku tertawa cekikikan mendengar perkataan ibu kami. "Kenapa tertawa?" ucapku sambil menatapnya tajam. 

"gak ada." jawabnya singkat sambil membersihkan mulutnya dengan sapu tangan. 

    Kemudian aku mengcuhkannya saja, dan meyakinkan ayah soal keinginanku ini. 

  "Ayah percaya bukan?" tanyaku. 

  "Percaya apa?" balasnya sambil menyeruput tehnya. 

  "hmmm.." langsung saja aku terbawa suasana dan cemberut sendiri. 

    Ibu melirik ayah. Akhirnya, ayah baru tersadar. 

  "Oh iya, iya putriku yang tercinta. Ayah yakin kamu akan menjadi desainer yang hebat. Tetapi.." ujarnya menanggung. 

  Aku pun meliriknya. "Tetapi apa?" 

  "Kamu lebih cocok jadi ilmuan saja.Toh kemarin kamu juga bilang mau jadi ilmuan dan menciptakan ramuan yang bisa membuat badan melayang-layang di lautan bintang bukan?" 

  Seketika wajahku panas dan merasa melu mendengarnya. 

   "Tapi kan, itu waktu aku masih umur 8 tahun kan? Duh kalian usil sekali yah!? Nanti aku kurangi jatah makan baru tau rasa!" Mendengar penjelasanku umyang serius malah membuat mereka tertawa dan kakak laki-lakiku mengusap-usap rambutku sambil tertawa cekikikan. 

  "Ahh.. Sudahlah."  Ujarku dalam hati. 

                                     ... 

   Pada malam hari, langit pun masih menangis. Aku hanya berpangku tangan saat duduk manatap langit yang gelap gulita itu dari jandela kamarku. 

  "Sudahlah langit.. aku jadi sedih nih." gumamku sendiri. 

  "Mana mungkin kamu akan menjawabnya."  

  Seketika langit bergemuruh seolah marah akan ucapanku. 

  "Kamu pasti marah, karena manusia tidak peduli denganmu?" aku cuman bergurau mengajak-ajak bicara langit itu. 

  "grrrr.." gemuruh kecil terdengar. Seolah pertanyaanku dijawab. 

  "Apakah karena manusia suka makan dan membuang limbahnya begitu saja?" 

  "grrr..." lagi-lagi dia menjawab pertanyaanku. 

  "Lalu, apakah kamu akan menghancurkan bumi malam ini?" tanyaku. 

  Tidak ada jawaban. Tiba-tiba saja hujan menjadi lebat sehingga membuat kaca kamarku buram dan tidak bisa melihat lampu-lampu kota dengan jelas lagi. 

  "Apakah karena ada aku?" ucapku dengan takut. 

  "grrr.." suara gemuruh kecil terdengar. 

  Tidak lama setelah itu pun hujan perlahan mereda. Setelahnya, aku menarik laci meja belajarku dan mengambil pena dan secarik kertas untuk mencatat aktivitas ku besok hari dan pengalaman yang terjadi malam ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun