Pagi ini juga sama, sinar mentari yang muncul di ufuk timur kembali menyirami dataran bumi.Â
pagi ini juga sama dengan keadaan yang sama, Amir pergi melangkahkan kakinya dari depan pintu rumah sederhana. Di rumah, Amir tinggal bersama ibunya yang tengah sakit. Mereka dulunya hidup berlima, anggota yang berisikan ayah, ibu dan dua saudara laki-laki yang gagah. Tetapi, sudah lima bulan berlalu Amir dan Ibunya hanya tinggal berdua bersama.Â
Tiga bulan yang lalu, Ibu Amir masih sanggup memikul rumah tangga yang tinggal tiang dan atapnya itu saja. Tetapi, badannya mulai lemah karena tidak terbiasa bekerja sebegitu kerasnya. Ditambah lagi,badannya dari dulu tidak kuat bekerja berat.Â
Amirlah seorang, karena saudara telah pergi merantau dengan janji"Abdi Negri". Tetapi, mereka tidak pernah mengabari keberhasilan mereka semenjak ayah Amir masih menjadi tulang punggung keluarga. Â
Pagi hari, bukannya menyandang tas yang berisikan buku dan pena tetapi berisikan palu martil untuk memecah batu. Yah, pekerjaan yang dilakukan si Amir kecil adalah memecahkan batu untuk bangunan. Â Dia diajak oleh paman-paman yang bukan paman kandungnya. Hanya saja, si paman dekat dulunya dengan ayahnya. Si paman itu sebenarnya tau kondisi krisis yang dialami oleh Amir dan ibunya. Si Paman juga memberikan bantuan untuk berobat, tetapi hanya sampai disitu karena keluarga dirumah juga menanti sesuap pangan dan sehelai sandang. Dikata keras, seperti inilah takdir jalan yang harus ditempuh oleh Amir.Â
Amir dengan badannya yang masih kecil tidaklah merengek dan menangis meminta ini dan itu, seperti banyak seusianya di luaran sana. Mungkin jalan yang dilaluinya bersama ayah dan ibunnya mengubah hatinya menjadi tabah. Bukannya, menangis dan memelas kepada si paman, ia justru meminta agar ia ikut membantu pekerjaan atau dicarikan pekerjaan. si paman juga tak kuasa menahan rasa sedih dan kasihannya dengan ketabahan Amir.Â
Pagi hari, ketika masih biru dengan suasana yang syahdu, si paman akan menjemputnya tidak lupa memberikan sarapan yang dibuatkan istrinya dari rumah untuk Amir dan ibunya. Pekerjaan yang di suguhkan kepadanya bukan hanya memecah batu,tetapi pekerjaan apa saja yang menanti dan merasa sanggup untuk dilaluinya. Terkadang menjagalkan kerupuk dimulai dari satu kedai ke kedai yang lain. Di lain hari, dia membantu membagikan koran-koran di perumahan kampung sebelah. Itu pun, tidak dapat merubah senyuman yang selalu melekat diwajahnya. Seolah sisi gelap dunia tak membuat Amir goyah. Â
Di siang hari, tepatnya hari kamis. Seorang saudagar kaya mengetahui cerita si Amir dari para pekerjanya. Saudagar itu membantu untuk pengobatan ibunya Amir. Si Amir tidak lagi diperbolehkan bekerja dan telah didaftarkan ke sekolah.Â
Bagaimana menjelaskannya, rasanya kehidupan yang gelap itu sebenarnya cuman sebentar dirasa Amir. Bagaikan tidur di malam yang gelap dan terbangun dengan cahaya yang bertebaran di sekelilingnya. Ini semua berkat ketabahan Amir dan Ibunya disertai dengan Doa dan usaha yang benar-benar sejalan.Â
Hari demi hari dilalui Amir. Tidak terasa lamanya Amir telah menempuh kuliah di Universitas terkemukan di Indonesia dengan  jurusan  Ekonomi dan Bisnis.  Sekarang Amir hidup dengan tentram bersama ibunya dan dia telah memiliki bisnis wirausaha yang telah berkembang semenjak dia berkuliah dan magang diperusahaan ternama. Sekarang, yang ditunggu oleh ibunya Amir adalah menantu yang mampu mendampingi Amir dengan keadaan apapun.Â