Pada dialog yang diucapkan Madendra juga menimbulkan efek saskasme karena apa yang ada dalam dialog secara tidak langsung menyindir praktik-praktik politik. Peperangan melalui pertempuran fisik dengan dalih pemertahanan ekonomi ataupun menyebarluaskan pemahaman telah merenggut banyak hal, dan yang paling berdampak adalah rakyat. Rakyat kehilangan banyak hal, mulai dari harta benda, hingga keluarga. Besarnya ego untuk menjadi berkuasa menutup mata dan hati pada penderitaan sesama.
Di sisi lain, penokohan si pengkhianatan Djaya Antea (Ari KPIN) seolah menjadi penggambaran bagaimana orang-orang yang selalu merasa lapar akan kekuasaan, hingga rela memakan daging keluarganya sendiri yang telah merawat dan membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Menghasut dan memfitnah seakan menjadi hal yang sederhana, mementingkan kepentingan pribadi menjadi agenda utama saat menaiki takhta.
Terlepas dari nilai yang ada dalam pergelaran drama HMPD ini, penggunaan bahasa Sunda klasik memberikan dua efek terhadap pergelaran drama HMPD. Di satu sisi, penggunaan bahasa Sunda klasis lebih membuat cerita hidup karena sesuai dengan latar tempat dan kejadian. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan bahasa Sunda klasik membuat keberterimaan cerita kepada penonton menjadi berjarak. Banyaknya kosa kata yang sudah tidak familier didengar, membuat penonton tidak dapat mencerna kisah ini secara utuh.
Secara keseluruhan, pergelaran drama HMDP sukses digelarkan dengan segala keterbatasan dan kendala yang disebabkan oleh kondisi pandemi. Meski hanya dihadiri sedikit penonton, tidak menjadi alasan pergelaran drama HMDP digelarkan dengan asal- asalan. Pergelaran tetap digarap dengan matang dan serius, sehingga berhasil mengoyak perasaan dan memberi pengalaman menonton sebuah pergelaran dengan baik kepada penonton.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H