Tampaknya, buku antologi Cerpen Pilihan #prosaDiRumahAja dengan judul "Pandemi" telah berhasil mencapai tujuannya untuk membuat tulisan fiksi dengan cara menggabungkan teori-teori jurnalisme dan teori sastra.Â
Cerpen-cerpen yang disuguhkan memperkaya khazanah "peliputan" terhadap dampak pandemi yang terus bergulir dan entah sampai kapan akan berakhir. Cerpen-cerpen ini menjelma menjadi dokumentasi sosial yang berharga, lantaran tak hanya merekam peristiwa fisik, tetapi juga mencatat peristiwa batin yang menyebabkan pergolakan di tengah situasi pandemi.
Beberapa cerpen yang dimuat dalam antologi Cerpen Pilihan #prosaDiRumahAja hadir laksana cermin yang memantulkan refleksi keadaan masyarakat di tengah pandemi.Â
Contohnya cerpen berjudul "Dingin Loyang Terang Bulan" karya Dwi Alfian Bahri menyuguhkan refleksi rakyat kecil yang berdampak pandemi, bagaimana sosok Sam seorang pedagang martabak yang setiap harinya harus larut dalam kelaparan, merintih dalam diam melihat anak- anaknya hanya minum larutan gula untuk mengelabui rasa lapar.Â
Begitu pula pada cerpen berjudul "Pada Suatu Siang" karya Asih Prihartini, "Pesta Ulang Tahun" karya Nafri Dwi Boy dan "Menuju Rumah Bapak" karya Ni Nyoman Ayu Suciartini yang mengajak pembaca untuk memasuki bagian terdalam dari kenyataan dan perasaan warga di tengah pandemi yang mengalami berbagai kesulitan, mulai dari PHK, lilitan hutang, hingga sulitnya memberikan anak akses pendidikan yang layak.
Semua cerpen yang ada saling mengisi dan saling melengkapi satu sama lain. Meskipun antologi ini ditulis oleh banyak penulis dengan banyak sudut pandang yang berbeda, tidak membuat nyawa pada antologi cerpen ini buyar. Semua tulisan sama menariknya, tidak ada yang lebih terang tidak ada yang lebih redup.
Ada satu hal yang disayangkan dari buku antologi cerpen Pilihan #prosaDiRumahAja, yaitu terletak pada ulasan yang dibuat oleh editor. Ulasan yang ada dalam antologi ini menjadi gerbang pembuka bagi pembaca untuk membaca rentetan kisah yang disuguhkan.Â
Sayangnya, ulasan dibuat terlalu rinci hingga terkesan seperti membuat sinopsis lengkap pada tiap cerita, kerincian ini semakin mengurangi minat pembaca tatkala ulasan dibuat hingga memberi tahu gambaran ending pada setiap kisah.Â
Terlebih, dalam ulasan tersebut, editor sudah "mengotak-ngotakkan" tema dan nilai yang membangun cerita. Padahal, akan lebih baik jika nilai dan tema yang berhubungan dengan realitas diselami langsung oleh pembaca agar interpretasi pembaca tidak dinodai dengan skema yang dibuat oleh orang lain.
Begitulah, geliat sastra tidak ikut mati dan terkubur bersama virus yang terus mencekik merenggut siapa saja tanpa terkecuali. Kreativitas sastrawan terus berkembang bersama dengan keprihatinan atas apa yang tengah terjadi. Bukannya mati, sastra justru terus mengakar dalam hujan, tumbuh dalam kekeringan, riuh dalam keheningan, dan menyebar laksana dandelion yang ditiupkan angin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H