Uang ada, tapi caranya bikin ngelus dada. Sejak itu aku harus tegas. “Elu, boleh apa aja, mau judi, mau cari gundik terserah. Tapi jangan lu bawa kerumah. Mulai sekarang qua cuma kasih "ce tiao" sebulan. Mau lebih atau kurang itu urusan lu,” ujarku. Karena bagi orang kita, tidak kenal kawin cerai. “Rejeki usaha bagus, karena ada suami dan anak,” pesan Babah sebelum meninggal.
Orang pasar memang tidak pernah tahu sakitnya hidup berdagang. Kebanyakan tahunya dagang untung dan selalu jual mahal. Kadang rugi biasa, tapi yang penting selalu berupaya bertahan agar menambah pelanggan. Agar pelanggan biar bisa bertahan, harus kasih harga murah. Dagangan umum yang banyak pembelinya kalau perlu jual harga modal. Tapi dagangan yang tidak terlalu umum dan bahkan sulit didapat bisa dijual untung. Itu hukum yang berlaku di "pasar gelap" ini.
Sementara itu, kita juga harus mengenali pembeli. Untuk orang kantoran, kalau yang belanja bos harus diberi harga lebih mahal. Tujuannya biar pas anak buah belanja bisa diberi persenan.
Kalo tidak bisa berabe. Anak buah bisa belanja ke tempat lain walau bos taunya suruh ketempat yang biasa belanjanya. Tiap tahun baru, lebaran, natal dan imlek harus disiapin oleh oleh. Ini bukan hanya untuk saudara dan pelanggan. Tiap bulan tiap tahun ada saja yang minta, ang pao. yang bikin heran ngga ikut lebaran dan natal tapi tetap turut menyumbang. “untung gua gunung, kalo bukit udah rata kali karena harus bagi elu orang,” semprot aku kepada petugas hansip dan lingkungan yang keliling serahin proposal.
Prinsip dagang harus tetap dipertahankan. Meski sepanjang tahun, selalu ada ganjalan. Sekarang di penghujung usia 73, inginnya semua lancar. Ailing sudah berkeluarga, punya anak dua perempuan. Mulai dari lahir hingga mau kuliah tetap Popo yang biayai. Aguan tamat sekolah merantau dan punya bini di Australi. Kerja diperusahaan listrik. Tiap tahun mesti dikirimin agar bisa beli rumah. Sekarang sudah punya lima. Disewain. Taunya mantu, itu tumah punya lakinya. Padahal mama yang modalin.
Bila engkau disini dan melihat hidup ku, aku yakin engkau mengerti karena dirimu seorang guru. Seorang kepala sekolah yang selalu menjaga dan mendidik anak anak.
Selepas dirimu aku tidak tidak pernah sepi mengurus dan menjaga anak anak. Mulai dari jaga adik Cung dan Sin. Jagain anak Aguan, Ailing dan Akiong. Akiong yang sekarang hampir setengah abad, masih tetap belia. Kuberserah pasrah dalam capek dan mengantuk sepulang dari toko, Akiong kadang sering kena marah.
Sejak kecil Akiong harus dibantu dengan obat. Jika dia tenang, dia akan menulis apa saja di kertas dan bahkan dinding kamar, rumah bahkan kain tempat tidur. Bisa pensil, pena spidol dan arang sisa rokok dan obat nyamuk. Apa saja. Lelah menulis dia akan bercerita memainkan boneka dan memerankan berbagai tokoh cerita khayalnya.
Kadang cukup dengan jari dan bahkan terkadang kami berdua ber berbisik bisik memainkan dialog.
Meski lelah dan sangat sangat capek, bisa kupastikan tidak pernah Akiong kutinggal tidur sesudah ku terlalap. Selalu kupastikan dengkur halus dan wajah polosnya menjadi obat mujarab pengantar mimpiku menemuimu di ujung awan.
Kini, dalam sendiri ku terpuruk disini. Kupastikan segera kita bertemu. Kupastikan Akiong kembali ke nirwana, menungguku disana. Kupastikan dalam tidurnya, Akiong tidak merasakan sakit dan takut sepertiku meninggalkannya tanpa ada yang mengasuh. Menjaganya. Sepeninggalnya, aku pasrah menghadap Dewa. Abu ku dilarung ke laut setelah dikremasi sesudah maisong.