Sepergi mu dari Indonesia, aku dan keluarga meninggalkan Sukabumi. Kata Babah, pemerintah larang kita orang jualan eceran di kampung.  Kami semua, nah (ibu-red), babah, Sin hwa, Cung hwa menuju Jakarta.  Babah melanjutkan  usaha keluarga, dagang. Sementara aku,  cita cita menjadi perawat tinggal kenangan. Babah berharap  Cung dan Sin tetap bisa sekolah.
Usaha keluarga juga tidak memadai. Babah dan Nah bekerja lebih keras, agar kami semua cukup untuk bisa beli beras. Sepulang  mengantar Sin dan Cung ke sekolah aku menemani babah di pasar.Â
Kehidupan pasar mengajarkan yang gigih dan kuat berusaha pasti memanen hasilnya. Dari awal, mengumpulkan  buah sortiran yang boleh dipungut percuma, kemudian dijus dan diencerkan dengan air gula dicampur es. Minuman buat abang abang pasar.
Sepulang sekolah, Cung dan Sin  juga turut membantu. Dagang jus keliling pasar. Agak lumayan ketika akhirnya kita bisa berteduh dan berjualan didepan toko buah milik kokoh Liem.
Agar uang tidak habis menguap, ku mencoba beli ajinomoto kalengan. Kadang sebulan menabung baru bisa beli satu kaleng dititip di babah Ahung. Kadang sebulan bisa tiga bahkan sampai empat kaleng. Tergantung cuaca. Lagi panas, laku banyak. Kalo hujan, tidak hasil apa apa.
Ketika sudah sampai delapan puluh kaleng, kokoh bilang tabungan ajinomotonyo udah banyak. Kalo tidak diambil, setahun bisa bonus lima. Tapi aku menolak. Tidak usah setahun lima, asal harga naik, saya boleh ambil dengan harga baru. Cien (uang red) lumayan untung.
Begitu, seterusnya. Tiap kali harga naik, ajinomoto dijual dengan harga baru ke toke lain. Hasil tabungan ini bisa menyewa toko dan memulai usaha kelontong peralatan rumah tangga. Usaha jus buah dilanjutkan Cung dan Sin sepulang sekolah.
Usaha kelontong rumah tangga bisa menjual apa saja. Bahan baku yang murah, asal bisa dibersihkan, dipoles dan dibungkus rapi bisa untung lumayan. Misal sapu lidi, dengan memesan langsung ke Sukabumi dan Bogor. Disana boleh ambil sepuasnya dan kalau pun beli tinggal diganti garam dan tembakau. Karena sudah langganan kadang setelah dapat sapu lidi, sapu ijuk kadang dibungkusin  bonus nangka, pisang dan hingga beras.
Ongkos hidup juga sudah berlebih. Kasarnya, bisa untung dua tiga kali lipat. Sejak itu, selalu pegang cien. Hingga akhirnya babah, bubu yang ikut kita Cung dan Sin.
Kata babah, tidak baik anak perempuan  sudah pegang usaha dan belum bersuami. Akhirnya aku menikah agar tidak memberatkan Babah dan Nah.  Semua yang terlihat indah tidak selalu baik. Semua yang manis, akhirnya menjadi empedu. Pait.
Koko, tidak terbiasa pegang uang. Tidak terbiasa melihat isteri yang ikut membantu. Akhirnya dia kemakan omongan orang hingga malas ke toko dan ogah menemani belanja. Yang ada malahan minta uang buat rokok dan jajan diluar. Kalau tidak ada dikasih bikin kesel. Maunya ribut. Padahal  di toko harus menjaga perasaan yang belanja.Â
Untungnya  koko masih sayang sama anak anak. Dia bantu jaga rumah dan anak anak. Kehadiran Aguan, Ailing dan Akiong menjadi cambuk untuk terus mempertahankan dagang. Ketika mereka mulai makin bisa mandiri, tingkah Koko juga makin menjadi. Ada saja cerita kurang mengenakkan. Cerita kalah judi, main perempuan, ribut sama tetangga dan bahkan tidak pernah cocok sama saudara.