Baru-baru ini, BBC Indonesia melaporkan bahwa bahwa kelompok separatis Papua telah mengisolasi lalu lintas dari dan menuju desa Banti dan Kimbely di Kabupaten Timika. Karena aksi penghadangan ini, 1300 warga Papua yang terdiri dari Native Papuans dan non Papuans merasa terisolasi.
Mengutip Tell the Truth NZ, Isolasi ini berdampak memburuknya akses keluar masuk suplai makanan. Ini membuat keadaan social masyarakat di sana pun memburuk. Inilah yang menimbulkan asumsi umum bahwa kelompok separatis ini telah 'menyandera' masyarakat Papua.
Tak segan membunuh warga Native Papuans
Selain melakukan isolasi, kelompok separatis itu juga sudah tiga kali melakukan penembakan terhadap kendaraan yang melintas, menewaskan satu orang, yaitu Martinus Baneal seorang karyawan perusahaan kontraktor Freeport. Saat melintasi jalanan yang dijaga kelompok bersenjata tersebut, Martinus sedang dalam perjalanan untuk menemui keluarganya.
Di desa yang terisolasi tersebut, warga masyarakat tidak boleh dilarang ke mana-mana, akses bahan makanan distop, dan saat ini masih bertahan di masing-masing kampung di rumah masing-masing.
Sebenarnya, beberapa kalangan mengatakan bahwa yang terjadi bukan penyanderaan, dan warga bebas melakukan apa pun di desa itu. Isak Ondowame, pendeta Gereja Kemah Injil yang juga tokoh agama di Timika, mengatakan bahwa ini bukan penyanderaan.
POLRI menyatakan bahwa memang susah menyebut situasi ini adalah penyanderaan. Akan tetapi, isolasi oleh kelompok separatis ini telah membuat warga tertahan aktivitasnya, sekaligus aksesnya terhadap makanan dan obat-obatan. Sebab, dua desa yang terisolasi itu membutuhkan pasokan makanan dari luar desa. Karena itu, masyarakat yang terisolasi pun perlu 'dibebaskan'.
Benar-benar 'menyandera' masyarakat Papua
Dugaan yang kuat mengarah pada kesimpulan bahwa selama ini kelompok separatis ini suka berlindung atau menjadi masyarakat sebagai tameng, sehingga menyulitkan aparat TNI dan Polri yang melakukan pembebasan. Dari situasi inilah, kelompok ini bisa jadi 'menyandera' masyarakat.
Data terakhir mengungkapkan bahwa di dalam kelompok separatis ini, terdapat 35 orang yang memiliki senjata berstandar militer. Senjata tersebut rampasan dan diperoleh dari pihak yang tak bisa terungkap. Kabarnya, mereka mendapatkan senjata dari negara-negara yang bersimpati dengan mereka lalu menyelundupkan senjata lewat Papua New Guinea.
Selain itu, ada ratusan orang anggota kelompok separatis yang menggunakan senjata tradisional, baik itu senjata rakitan, panah, tombak, parang, dan lain-lain.
Kekerasan oleh kelompok separatis papua
Ketika kelompok separatis papua ini menguasai Desa Kimbeli dan Banti, laporan kekerasan mulai muncul. Seorang warga berinisial E atau mama L dilaporkan telah diperkosa oleh kelompok pimpinan Sabinus Waker itu. KKB juga merusakan kios warga yang telah ditinggalkan  oleh kelompok bersenjata dengan cara dibakar.
Hingga seluruh warga, baik pendatang maupun lokal dievakuasi, Polres Mimika menerima 85 laporan adanya tindak kekerasan yang dialami para pendulang emas tradisional, pemilik kios, pembeli emas yang rata-rata berasal dari berbagai suku di luar Papua. Tindak kekerasan itu mereka alami selama aksi pendudukan oleh kelompok separatis ini di Banti, Kimbeli, Utikini dan area longsoran dekat Kali Kabur selama lebih dari tiga pekan.
Dari puluhan kasus kekerasan itu, satu kasus tergolong tindak pidana berat, yaitu pemerkosaan, tiga kasus percobaan pemerkosaan, dan delapan kasus pelecehan seksual.
Warga juga melaporkan adanya kasus penganiayaan dengan ditodong menggunakan senjata api yang menimpa 19 orang, warga yang dirampas telepon genggamnya sebanyak 74 orang dengan total telepon genggam yang dirampas sebanyak 202.
Adapun uang yang dirampas komplotan bersenjata itu mencapai total Rp 107.500.000 dengan jumlah korban mencapai 15 orang dan emas yang dirampas mencapai total 254,4 gram dengan jumlah korban sebanyak tujuh orang.
Kejahatan yang dilakukan oleh kelompok separatis ini tentu merupakan kejahatan kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan. Sayangnya, kejahatan mereka mendapat dukungan dari berbagai pihak di luar negeri seperti dari Australia dan Selandia Baru.
***
Ulasan ini memunculkan kesimpulan bahwa kejahatan kemanusiaan oleh kelompok separatis papua ini adalah seuatu yang ironis. Pasalnya, beberapa kali bagian-bagian dari kelompok ini telah menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang konyol. Mereka akhirnya menyatakan bahwa bergabung dengan Indonesia adalah pilihan terbaik sebab bukti-bukti telah menunjukkan bahwa Papua mendapat keistimewaan dari Indonesia, bukan sebaliknya.
Selama ini mereka bukanlah berjuang untuk warga Papua, tetapi malah membahayakan sesama orang Papua. Dalam beberapa bukti, mereka tak segan membunuh rekan sesama Papua mereka karena tidak mendukung aksi separatis mereka. Hal inilah yang baru saja terjadi di Banti dan Kimbeli.(*)
Disusun dari berbagai sumber: BBC Indonesia (2017), Kompas.com (2017), dan Kriminologi.id (2017)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H