Akses Fasilitas Umum
Fasilitas umum merupakan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah teruntuk warga negaranya tanpa terkecuali. Namun nyatanya tak semua warga negaranya dapat menikmati fasilitas tersebut. Adalah mereka para penyandang disabilitas. Fasilitas umum tak sedikit yang tidak memberikan kesempatan bagi mereka yang spesial.
Disabilitas bukanlah sebuah kekurangan. Disabilitas atau difabel sendiri merupakan different able, hanya berbeda. Ya, tentu mereka hanya sekedar berbeda, bukan kekurangan. Hal ini lah yang kerap dilupakan bagi mereka sang penyedia layanan, karena memang pada dasarnya kaum minoritas ialah mereka yang sering tak masuk dalam pertimbangan.
Seperti misalnya pada Transjakarta. Hampir setiap hari saya menggunakan jenis transportasi umum ini, dan tak jarang saya memperhatikan tiap incinya. Bus Rapid Transit milik Ibukota Jakarta yang perkembangannya sangat masif ini memang kerap menjadi angkutan umum pilihan kedua setelah commuter line. Murah dan mudah adalah alasan terpilihnya angkutan tersebut. Namun benarkah mudah?
Di dalam bis, memang disediakan kursi prioritas. Kursi tersebut diperuntukan terutama kepada ibu hamil, ibu dengan balita, lansia, dan penyandang disabilitas. Namun seperti ini logikanya, bagaimana seorang penyandang disabilitas dapat masuk ke dalam bis tersebut sementara akses untuk menuju bis adalah terdiri dari banyak anak tangga? Ya, memang mungkin ada jalur landai, namun apakah di semua halte pada berbagai sisi terdapat yang seperti itu? Sayang sekali, tidak semua halte memiliki fasilitas tersebut. Jangankan dengan berpuluh-puluh anak tangga. Dua buah anak tangga mungkin bagi kita yang berkecukupan bukanlah hal yang berat, namun bagaimana dengan mereka yang bersahabat dengan kursi roda? Tentunya, untuk melewati satu anak tangga pun, mereka akan sangat bekerja keras. Hal sekecil ini yang kerap terlupa oleh kebanyakan orang yang hidup berkecukupan.
Memang sangat sulit untuk mengerti seperti apa rasanya menjadi orang lain sebelum kita merasakan ada di posisi mereka. Mari berimajinasi. Bagi kalian yang sering saya temukan tengah berjalan cepat dalam keangkuhan dibalik kemeja dan dasi yang kalian gunakan, pernahkah berpikir bagaimana rasanya bersahabat dengan kursi roda? Dimana setiap langkah kalian akan selalu bersama dengan sang sahabat tersebut. Maka, mari berpikir ulang dan memperhatikan teman-teman kita yang spesial.
Mari bergerak maju. Semisal akses menuju halte adalah jalur landai yang kemudian mereka yang difabel dapat mengaksesnya, bagaimana dengan gate yang ada? Pasalnya gate atau semacam gerbang untuk bisa masuk ke dalam halte pada saat ini hanya berukuran selebar satu  tubuh saja. Lantas apakah cukup untuk sebuah kursi roda melewatinya? Saya rasa tidak. Lalu bagaimana mereka bisa memasuki bis, sedangkan untuk memasuki halte mereka tidak bisa? Maka mulailah dengan tidak menyingkirkan minoritas dalam segala pertimbangan.
Kesempatan Hidup Layak
Tak hanya perihal fasilitas bagi penyandang disabilitas. Mengenai kehidupan mereka adalah hal yang juga sangat penting untuk diperhatikan. Undang-undang menyatakan bahwa semua warga negara berhak untuk hidup dengan layak. Lantas apakah semua warga negara termasuk mereka yang difabel sudah mendapat hidup dengan layak?
Mari melihat seberapa banyak orang yang mau memberdayakan mereka yang berbeda? Bisa terhitung dengan jari tentunya. Lantas bagaimana mereka yang berbeda namun harus menghidupi beberapa orang lainnya? Tentunya hal tersebut akan sangat sulit. Bagaimana seorang difabel dapat berkembang apabila melalui hal yang kecil saja, hal yang seharusnya sudah menjadi hak mereka, namun mereka tak bisa mendapatkannya. Inilah yang membuat kesenjangan akan kesejahteraan semakin bergerak menjauh.
Negara ini memang cukup makmur, namun masih kurang memakmurkan rakyatnya. Masih banyak perihal yang harus diperbaiki secara besar-besaran. Masih banyak pemikiran yang harus diubah dan dihilangkan secara total. Faktanya sekitar 0,4% daripada warga negara Indonesia adalah mereka yang merupakan penyandang disabilitas. 0,4% ini adalah angka yang seharusnya diatasi, bukan sebagai minoritas yang menjadi pertimbangan ke-sekian setelah kebutuhan yang dianggap penting bagi beberapa.
Mereka yang berbeda hanya sekedar berbeda secara fisik. Hanya fasilitas penunjang yang sedikit lebih istimewa yang mereka butuhkan. Raganya mungkin tak sama, namun hak dan kewajiban yang mereka punya adalah sama. Tak banyak mereka yang sesungguhnya memiliki potensi dan kemampuan yang sebenarnya sangat luar biasa. Namun hanya perihal fasilitas yang menyulitkan dan kurang bersahabat bagi mereka mampu mematikan potensi-potensi tersebut.
Demi mendapatkan penghidupan yang layak, mereka dituntut untuk mampu menjadi kreatif. Tak jarang pula dari mereka yang kemudian mampu mempekerjakan dirinya dengan usahanya sendiri. Namun nyatanya tak semua orang memiliki kesempatan dan keberuntungan yang sama. Bagaimana dengan mereka yang memiliki potensi, keterampilan dan kreativitas namun minim modal? Ini yang seharusnya dipikirkan sebelum menuntut sesorang untuk menjadi kreatif. Pinjaman? Beberapa jasa pinjaman modal kerap memberatkan peminjam dengan bunga pinjaman yang cukup besar. Tak jarang akibat pinjaman yang awalnya menjadi modal justru menjadi bumerang yang membuat beberapa usaha menjadi gulung tikar.
Angka 0,4 bukanlah angka yang kecil dan bisa diremehkan. Apabila penduduk Indonesia adalah 300.000.000 jiwa saja, maka angka para difabel tersebut adalah sebesar 1.200.000 jiwa. Inilah adalah hal yang patut disayangkan. Dengan memberdayakan 1.200.000 jiwa tersebut sangat banyak hasil positif yang bisa didapatkan. Begitu banyak sektor yang bisa berkembang apabila 1.200.000 jiwa tersebut dapat diberdayakan dan diberi kesempatan yang sama halnya dengan yang lain.
Kurangnya pemberdayaan ini nyatanya justru membuat masalah baru. Tak jarang beberapa dari mereka yang membutuhkan namun dalam keterbatasan memilih jalan pintas dengan sekedar mengharap belas kasihan. Hal semacam ini hanya akan menambah jumlah para tuna wisma. Kemudian pada akhirnya mereka harus ditertibkan dengan secara paksa oleh departemen sosial. Pembinaan oleh departemen sosial memang baik adanya, namun pembinaan berkelanjutan lah yang dibutuhkan. Pembinaan hingga mereka yang dianggap harus ditertibkan ini sudah siap secara mental maupun kemampuan untuk tidak kembali ke jalan.
Kemudian apa yang sebenarnya dibutuh oleh para difabel? Undang-undang yang melindungi segala hak para penyandang disabilitas ini adalah jalan keluar terbaik. Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas adalah sudah benar adanya. Undang-undang yang melindungi segala hak para penyandang disabilitas ini diharapkan akan menciptakan negara ramah disabilitas. Maka perku ditegakkan dan disosialisasikan agar semua warga negaranya tanpa terkecuali mengetahui dan memahami benar bahwa mereka yang berbeda memiliki hak dan kesempatan yang sama. Namun bukan hanya sekedar perihal melindungi hak dan kesempatan, negara juga harus membenahi fasilitas yang ada agar dapat sepenuhnya menjadi negara ramah disabilitas. Karena mereka bukan untuk dikesampingkan, penyandang disabilitas adalah bagian dari sebuah negara yang membutuhkan perhatian lebih dari negaranya.
Tak hanya sekedar undang-undang dan peraturan, sebagai sesama sudah seharusnya warga negara juga tidak membedakan mereka yang spesial. Menghargai kekurangan yang ada akan membuat hidup semakin rukun dan damai. Maka mulailah berpikir untuk memperlakukan orang lain seperti kalian ingin diperlakukan oleh orang lain.
Penulis: Diah Afrilian Dini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H