Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penyuka seni dan olah raga tetapi belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, Selandia Baru.

Penikmat tulisan, foto, dan video

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

3 Alasan Tidak Memecat Solskjaer

23 Januari 2020   09:24 Diperbarui: 23 Januari 2020   12:39 1419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: AFP via Kompas.com

Ini adalah musim ke tujuh yang diarungi United pasca-era Sir Alex Ferguson dan di bawah manajer ke empat. Trofi juara liga kelihatan masih jauh dari jangkauan wong menggapai zona Eropa saja kesulitan. 

Fan dan pengamat pun sudah buka suara, mulai dari perombakan pemain hingga pergantian manajer. Ya, memang, reaksi paling mudah dari pemain game manajer adalah pembelian pemain mahal dan respons fans ala-ala adalah tagar "manajer out".

Pada dasarnya setiap manajer baru pasti punya mimpi untuk membentuk tim yang bagus. Namun mimpi itu sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan kemauan manajemen klub juga kejelian dan keberuntungan scout (tim pemantau). 

Apakah manajemen mampu mendatangkan pemain yang diinginkan manajer atau mereka mau mengakomodir desain yang dibuat manajer? Apakah scout jeli melihat calon pemain yang cocok dengan kebutuhan tim dan dinaungi keberuntungan bahwa pemain yang diincar tidak akan drop di kemudian hari? 

Sebab tidak semua pemain bagus cocok dengan skema permainan manajer, dan tidak ada yang bisa memastikan bahwa pemain bagus itu tidak akan cedera parah atau penampilannya menurun drastis di musim selanjutnya. Karena pemain adalah manusia dan keberuntungan adalah bagian tak terpisahkan dari sepak bola.

Lalu apa yang menjadi kriteria untuk melegitimasi pemecatan seorang manajer?

Sepanjang sejarah sepakbola, hanya ada tiga alasan rasional untuk memecat seorang manajer. Pertama, pencapaian yang jauh dari harapan. Kedua, peselisihan dengan manajemen klub. Ketiga, kondisi psikologis tim yang tidak kondusif.

Pencapaian

Sampai di pekan ke-23, United memang berada di posisi 5. Jauh dari peluang juara dan riskan di zona eropa. Tetapi perbandingan nilai skuat dengan pencapaian sebenarnya masih seimbang.

Besar nilai skuat United hanya berada di urutan keempat di antara klub-klub besar Inggris yakni senilai 749 juta pound (sebelum bursa transfer Januari). 

Bandingkan dengan Manchester City yang bernilai 1,3 miliar pound dan Liverpool 1,2 miliar pound. Bahkan Tottenham Hotspurs masih di atas United dengan nilai 983 juta pound. Komposisi pemain United saat ini hanya diisi oleh 11 pemain tim nasional. 

Sementara Liverpool diperkuat 17 pemain nasional, City dengan 18 pemain, dan Tottenham terbanyak dengan 20 pemain. Dari jumlah pemain asing, United juga paling sedikit menggunakannya.

Sumber: Transfermarkt.com
Sumber: Transfermarkt.com
Solskjaer memang diberi 159 juta pound tetapi hanya mendatangkan tiga pemain non-bintang, seperti Maguire, Wan-Bissaka, dan James. Berbeda dengan Guardiola yang di awal pekerjaannya digelontorkan 213 juta pound untuk memboyong 11 pemain baru, termasuk empat senjata andalannya, Stone, Sane, Jesus, dan Gundogan.

Sementara Klopp menghabiskan 79,9 juta pound untuk enam pemain, termasuk salah satu pemain pentingnya, Sadio Mane.

Jika membandingkan kinerja Solskjaer dengan manajer lain, tentu hanya adil dengan melihat kurun waktu yang sama pada musim pertama masing-masing manajer tersebut. 

Data menunjukkan bahwa dalam 23 pertandingan pertama Mourinho, United hanya berada di posisi 6, sementara van Gaal di posisi 3, dan Moyes di posisi 7. Jurgen Klopp yang musim ini diambang juara liga hanya berada di posisi 8 dan Guardiola sama dengan posisi Solskjaer yaitu ke-5.

Meski demikian, Guadiola dan Klopp masih dipercaya untuk beberapa musim setelahnya karena manajemen memaklumi posisi tersebut.

Berbeda dengan pemecatan Emery dan Pochettino di mana posisi klub melorot jauh ke bawah. 

Atau, misalkan, Claudio Ranieri yang telah mempersembahkan trofi Liga Primer Inggris dan menjadi satu-satunya dalam sepanjang sejarah Leicester City juga dipecat karena posisi Leicester yang jauh dari empat besar. Pasalnya manajemen kadung bereuforia dengan posisi puncak musim sebelumnya.

Sumber: Transfermarkt.com
Sumber: Transfermarkt.com

Hubungan dengan manajemen

Hubungan Solskjaer dengan manajemen juga belum terlihat ada kendala. Manajemen masih mem-back up Solskjaer dengan rencana transfer Januari 2020. Meski manajemen belum mendatangkan pemain top class, Solskjaer juga tidak mengeluh, bahkan justru berkomitmen meningkatkan kapasitas pemain muda. 

Sederatan pemain di bawah 23 tahun muncul sebagai harapan masa depan, bukan hanya untuk United tetapi juga untuk tim nasional mereka masing-masing. Bahkan beberapa pemain usia 18 sudah rutin turun di laga tim utama United.

Sepertinya Solskjaer tidak bernafsu merekrut pemain berstatus bintang, tetapi sudah berumur karena konon dia berniat membangun United untuk prospek jangka panjang.

Dalam beberapa kali wawancara, Solskjaer selalu mengatakan bahwa kebijakannya semata-mata untuk kebaikan klub. 

Jika dia ingin hasil instan, tentu pemain bintang menjadi solusi yang lebih masuk akal. Karena jika pun manajemen tidak menyanggupinya, maka Solskjaer bisa memanfaatkan itu sebagai alibi.

Tetapi kenyataannya, Solskjaer bersikukuh memberdayakan pemain-pemain yang diejek para pakar sebagai pemain medioker.

Kondisi psikologis tim

Sejauh ini Solskjaer masih berhasil menjaga keharmonisan di tubuh United. Pemain masih menaruh respek dan mendukung penuh manajer muda itu sebagaimana yang diberitakan beberapa media Eropa. Belum tersiar percekcokan dengan staf seperti yang dialami Mourinho sebelum dipecat Chelsea di akhir 2015. Pemain United juga tidak semerosot penampilan pemain Tottenham yang ditengarai memicu pemecatan Pochettino.

Satu faktor lain yang sangat penting untuk dicerna adalah materi pemain. Mengarungi musim 2019/2020, Solskjaer hanya dibekali 11 pemain berusia emas yaitu 23-30 tahun. Bandingkan dengan Mourinho 17 pemain, van Gaal 14, dan Moyes 16, masing-masing di musim terakhir mereka. 

Bahkan barisan depan Solskjaer hanya mengandalkan pemain-pemain muda seperti James, Rashford, Martial, Greenwood yang semuanya masih di bawah 23 tahun. Sektor luar pertahanan juga hanya disandarkan pada pemain berusia sama seperti Wan-Bissaka, Williams dan Dalot. 

Sementara pengatur serangan cuma berharap pada penampilan pemain muda lainnya, McTominay dan Pereira bergantian dengan dua pemain "kepala tiga", Matic dan Mata. Pogba sendiri, si pemain termahal, justru tampil tidak sesuai harganya.

Dengan kondisi begitupun, United masih sanggup bertahan di lima besar klasemen. Solskjaer pasti butuh waktu untuk merombak tim seperti visinya dan itu sudah mulai terlihat seperti yang juga diakui oleh Guardiola. 

Tentu saja bukan berarti kondisi ini bisa terus dipelihara dan Solskjaer sudah pasti akan sukses. Solskjaer tidak bisa terlalu lama berlindung di balik alasan pemain muda. Dia harus membuktikan kemampuannya mematangkan pemain-pemain muda itu dalam 2-3 tahun ke depan. 

Dia harus membuktikan kemampuannya menangani pemain bintang berlabel selebriti yang penting sebagai katalisator dalam skuad. Dia juga harus mampu merebut trofi Liga Inggris atau bahkan piala Champions dalam 4-5 tahun, seperti Klopp, jika ingin dipandang dengan dua mata tetapi tidak mengorbankan pemain akademi United dan Inggris Raya.

Jika demikian, mengapa suara pelengseran Solskjaer sudah menggema?

Mungkin karena pemilik suara itu tidak melihat data dan fakta. Dahaga fan dan pengamat akan trofi United yang mengering pasca ditinggal Sir Alex menjadi penyebab reaksi irasional. 

Tidak peduli dengan program jangka panjang, tidak peduli perkembangan pemain akademi, tidak peduli pemain Inggris yang tersingkir dari klub papan atas atau lebih sering duduk di bangku cadangan. Tidak ambil pusing juga ketika sebuah klub Inggris berlaga di lapangan dengan hanya satu orang Inggris di dalamnya. 

Karena sesungguhnya memang ada fan yang menyatakan dirinya pengamat yang tidak peduli dengan nasib klub itu sendiri sebagai suatu kesatuan utuh. Kebanggaan pribadi karena prediksinya benar atau mungkin taruhannya menang, lebih menarik untuk dibahas.

Yah, begitulah sepak bola setelah menjadi industri.

Sumber data: Transfermarkt.com diolah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun