Situs-situs penyedia film gratisan berulang kali diblokir dan berulang kali pula reinkarnasi. Ada gula, ada semut. Dimana ada demand maka supply akan muncul.
Alasan hak kekayaan intelektual menjadi isu utama pemerintah. Sangat wajar, karena pemerintah harus menjunjung hukum dan juga memperhatikan keluhan penyedia aplikasi film berbayar yang khawatir bisnisnya tergerus.
Kalimat yang sering digemakan adalah "Penonton website ilegal ingin yang gratisan." Tuduhan lain, "Pendapatan bioskop (termasuk Production House) berkurang karena website ilegal."
Menjadi menarik jika sudut pandang penonton budiman juga mendapat perhatian agar hidup ini lebih seimbang. Penonton budiman (mengambil kalimat khas TVRI zaman dulu) yang dimaksud di sini adalah orang yang menyukai dan menghargai karya seni serta tidak ingin terkesan mencuri.Â
Benarkah penonton budiman hanya ingin yang gratisan? Benarkah pendapatan bioskop dan PH menguap karena online streaming?
Penonton siap membayar
Dahulu kala ada bisnis rental film. Sejak kaset VHS di tahun 80-an hingga DVD yang laris di tahun 2000an. Para pecinta film bisa menikmati film favorit mereka dengan biaya sewa yang relatif murah.
Katakanlah Rp 10.000 per film plus bensin atau ongkos transport. Namun bisnis persewaan film itu berangsur-angsur punah seiring perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi (IT).
Lagipula, koleksi rental-rental tersebut tidaklah selalu lengkap. Jarang ditemui film lawas yang berusia di atas 20 tahun. Kepingan DVD film lama mungkin sudah rusak dan tidak banyak yang diproduksi ulang oleh para produsen. Selebihnya memang tidak diproduksi sama sekali atau tidak masuk ke Indonesia.
Ke mana para pecinta film klasik bernostalgia dengan Terminator, Rambo, Titanic misalnya? Ke mana bisa mencari DVD fim-film lama karya Quentin Tarantino atau film-film Miss Marple dan Hercule Poirot yang diangkat dari novel klasik Agatha Christie? Atau film legenda tahun 40-an yang masih hitam putih?
Belum lagi film-film non Amerika yang memang jarang ada di pasar DVD. Kerinduan itu hanya dijawab oleh teknologi IT. File-file film lawas diunggah ke internet tanpa mengalami penyusutan kualitas karena waktu, meski sayangnya, oleh situs-situs yang dianggap ilegal.
Apakah penonton online menikmati film-film itu dengan gratis? Sebenarnya tidak. Konsumen tetap harus mengeluarkan biaya untuk keasyikan itu. Sebuah film berdurasi dua jam memiliki bobot antara 500 MB hingga 5 GB tergantung kualitas dan resolusinya.
Salah satu penyedia mobile internet yang populer di Indonesia menunjukkan harga di kisaran Rp 15.000 per 1 GB data internet (Telkomsel, 23 Desember 2019). Kesampingkan dulu langganan internet bulanan.Â
Jika film yang ditonton seberat 1 GB maka konsumen mengeluarkan biaya yang lebih mahal dari rata-rata sewa DVD di rental, yaitu sekitar Rp 15.000 plus menyaksikan iklan yang bisa dikonversikan ke rupiah.
Jika berlangganan dengan penyedia film legal di internet, memang biaya per film bisa jauh lebih murah dengan catatan frekuensi menontonnya tinggi. Tetapi kalau hanya menonton sesekali saja, jatuhnya lebih mahal karena biaya langganan umumnya dipatok per bulan.
Inti permasalahan sebenarnya bukan di rupiah. Penonton budiman bersedia membayar, bahkan mahal, untuk film yang diinginkannya tetapi belum tentu mampu dipenuhi oleh penyedia-penyedia berlabel legal itu.
Streaming tidak menggantikan sinema
Film-film baru memiliki karakter yang tidak dimiliki oleh film lawas, yaitu "trend" atau "happening". Unsur kekinian menjadi daya tarik utama film-film baru yang tayang di bioskop.Â
Ingat bagaimana "happening"-nya film Avengers, Twilight, dan Dilan? Penonton tidak ingin ketinggalan menyaksikannya di bioskop karena sedang menjadi buah bibir. Mereka rela antre di pintu masuk pada hari premier demi untuk "being up to date".
Menunggu DVD bajakan atau streaming ilegal bisa membuat cerita ke teman-teman keburu basi. Lagipula kualitasnya cenderung tidak memuaskan.Â
Kualitas High Defenition (HD) mungkin baru tersedia setelah selang beberapa bulan. Untuk film Indonesia waktu tunggu bisa lebih lama lagi. Itulah mengapa orang cenderung memilih pergi ke sinema daripada menunggu DVD bajakan atau streaming ilegal.
Tidak menutup kemungkinan bahwa ada penonton yang sudi menyaksikan parahnya kualitas video bajakan hasil rekaman kamera dari layar sinema. Tetapi kecil kemungkinan bahwa kelompok penonton seperti itu adalah pasar potensial dari bioskop.
In my opinion, konsumen bioskop yang normal biasanya tidak akan menggantikan kepuasan menonton karena beberapa puluh ribu rupiah (rata-rata harga tiket bioskop di luar Jabodetabek). Tentu saja, selalu ada deviasi dalam segala hal dan deviasi selalu kecil, bukan?
Para pemilik bioskop dan distributor film di Amerika, seperti yang ditulis CNBC mengaku bahwa streaming tidak menjadi kekhawatiran bagi mereka. Pada 2018 box office Amerika memecahkan rekor pertumbuhan penjualan tiket (5%) di tengah maraknya online streaming (CNBC, 8 April 2019).
Streaming tidak membunuh sinema. CEO Motion Picture Association of America (MPAA), Charles Rivkin, mengumpamakannya seperti semua orang punya dapur tetapi tetap saja pergi makan di luar.
Sensasinya beda, kualitasnya beda dan perbedaan waktunya signifikan. Sesungguhnya streaming seperti Netflix maupun Youtube hanya mengambil alih konsumen televisi konvensional alias terestrial.
Fakta yang lebih menarik lagi adalah bahwa di tengah-tengah praktik online streaming ilegal yang kerap diburu pemerintah itu, Indonesia merupakan pengakses Netflix terbanyak di dunia. Jumlah penonton Netflix via ponsel Indonesia dua kali lipat lebih banyak dari negara lain (Media Indonesia, 24 Agustus 2019).
Seperti air yang mengalir
Kebutuhan dan keleluasaan memperoleh informasi di era digital sekarang semakin tidak terbendung lagi. Seperti air yang mengalir, ia akan terus mencari celah-celah yang bisa dilalui demi tersalurnya tekanan yang ada.Â
Kadangkala tidak selalu ada saluran yang terbangun "resmi" seperti selokan dan gorong-gorong. Maka air pun meluber membentuk tali-tali air, bahkan menggenangi jalanan. Air yang dibendung maka tekanannya semakin besar.
Kekayaan intelektual produsen harusnya dipandang seimbang dengan kekayaan informasi konsumen. Apakah orang harus membeli DVD (jika pun ada) dengan harga mahal untuk ditonton sekali?
Di luar negeri memang tidak ada pasar DVD bajakan tetapi DVD original bekas banyak diperjual-belikan dengan harga sangat murah. Di Australia dan New Zealand misalnya, hanya berkisar 2-3 dollar.Â
DVD-DVD ini berputar terus karena dihibahkan dan dijual kembali di tengah-tengah masyarakat, toh pajak pembelian dan royaltinya juga hanya dibayar sekali saat pertama kali dijual dulu.
Sisi ekonomi kreatif juga perlu dipertimbangkan. Berapa banyak creator yang inspirasinya semakin kaya dengan segala informasi yang diperoleh dengan murah dari internet?
Argumen ini bukanlah ramuan mujarab atau mantera sihir. Perlu kajian lebih lanjut untuk membuatnya valid dan implikatif.Â
Artikel ini hanya suara berisik dari penonton budiman yang mendukung hadirnya layanan film lengkap dengan harga wajar dan distempel "legal".
Para kreatif digital pun diyakini akan terus mengisi celah-celah yang terbuka dan mengambil peluang-peluang yang ada. Pemerintah tetap memegang stiker label "legal" atau "ilegal".
Sinema tetap laris meski ada streaming. Streaming berbayar masih laris meski ada streaming gratis. Rumput bergoyang pun mungkin bingung jika seandainya ditanya.
1. Telkomsel
2. CNBC
3. Media Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H