Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar, Konsep Pendidikan Orisinal Indonesia Yang Tertukar

23 Oktober 2024   01:13 Diperbarui: 30 Oktober 2024   14:34 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, saya skeptis dengan penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan pada tahun 2021 silam. Apalagi saat itu, Kementerian Pendidikan malah digabung dengan Kebudayaan yang membuat urusannya semakin luas menggerus fokus. Dasar pemikiran saya klise, ia masih muda, bukan berlatar belakang pendidik, dan tidak punya pengalaman empiris.

Nadiem adalah anak orang berada yang sekolahnya relatif bagus. Pendidikan tingkat menengah hingga tingginya pun dikecap di luar negeri. Saat ia dilantik menjadi menteri, putri sulungnya masih balita. Pastilah ia tak punya keresahan akan praktik sekolah konvensional pada umumnya, baik sebagai murid maupun sebagai orang tua. Itu yang melayang di pikiran saya.

Keresahan

Saya sendiri telah merasakan langsung bagaimana sekolah alam mendemonstrasikan sistem pendidikan yang saya rasa terbaik untuk pengembangan jasmani dan mental anak saya. Sekolah anak-anak saya di Selandia Baru kemudian semakin membuka pikiran saya tentang konsep pendidikan yang ideal. Sebagai murid dan orang tua, saya juga sudah merasakan sekolah dasar konvensional pada umumnya, sehingga keresahan-keresahan itu pun berakumulasi.

Keresahan akan kurikulum pendidikan dasar dan usia dini yang terlalu prematur untuk perkembangan otak, motorik, dan kognitif anak. Pekerjaan rumah yang membebani psikis anak dan juga orang tua. Standarisasi ujian akhir yang sarat kecurangan namun sukses merongrong mental anak didik yang jauh dari prinsip equality.

Minimnya gerak tubuh, sentuhan alam, dan proyek riset dalam proses belajar. Pendidikan karakter yang cenderung terlupakan, seperti budaya antri, kejujuran, peduli lingkungan, dan tanggap darurat. Belum lagi tas yang terlalu berat untuk dipanggul setiap harinya karena berisi beragam buku yang bolak-balik dibawa ke rumah dan ke sekolah.

Keresahan terhadap sistem pendidikan yang mendewakan angka nilai, memangkas imajinasi, dan membekap kreativitas atas nama keteraturan dan kepatuhan. Kurikulum yang memaksa anak yang terlahir berbeda untuk serupa dengan standar yang sama.

Juga tentang kurikulum yang menghabisakan energi dan waktu anak untuk mempelajari berbagai ilmu yang belum dibutuhkan anak sesuai usianya dan bahkan ada yang tidak terpakai seumur hidupnya. Menghabiskan energi dan waktu untuk menghapal teori yang harusnya lebih mudah dipahami melalui cara praktik.

Kembali ke pengangakatan Nadiem Makarim sebagai Menteri, apa kompetensi dan relasinya seorang pengusaha bidang teknologi digital, meski pun lulusan Harvard University, mengurusi dunia pendidikan? Protes inilah yang ada di benak saya saat itu. Namun waktu perlahan menjawab keraguan itu.

Merdeka Belajar

Saya pikir Nadiem belajar dengan baik. Ia mendengar dengan jelas dan mengamati dengan cermat. Ia belajar tentang pergeseran sistem pendidikan global, meminta analisis tim ahli dan praktisi pendidikan lainnya, hingga melakukan studi lapangan di dalam dan luar negeri. Lahirnya kebijakan menghapus ujian nasional dan kemudian Kurikulum Merdeka.

Ah, apa itu Kurikulum Merdeka, cibir sebagian orang. Cuma istilah buatan seorang Nadiem? Saya menjawabnya, bukan! Jauh sebelum Nadiem jadi menteri, tahun 2010, Sekolah Alam, tempat putri saya mengecap Taman Kanak-Kanak, telah mengusung istilah itu. Pun saya yakin istilah atau konsep Merdeka Belajar itu telah ada jauh sebelumnya.

Prinsipnya, anak-anak harus merasa merdeka dalam belajar. Merdeka menggali minat dan bakatnya. Merdeka dari rasa takut dan tertekan di sekolah. Sebaliknya, menikmati proses belajar di sekolah sehingga tanpa sadar menyerap pelajaran-pelajaran yang diberikan.

Anak-anak harus merasa merdeka dalam belajar. Merdeka menggali minat dan bakatnya. Merdeka dari rasa takut dan tertekan di sekolah.

Salah satu indikatornya terlihat ketika anak merasa senang masuk sekolah dan sebaliknya, justru tidak senang saat libur tiba. Ini bukan lelucon, ini dialami anak-anak saya dan anak-anak di Selandia Baru lainnya. Mereka bersemangat untuk pergi ke sekolah dan kesal jika libur tiba. Mereka suka keseruan beragam aktivitas di sekolah sehingga merasa bosan jika harus libur di rumah. Sebuah fenomena yang terbalik yang terjadi di dalam negeri.

Lebih dalam saya mengulas seluk beluk pendidikan dasar Selandia Baru di artikel ini: "Sekilas Pendidikan Dasar di Selandia Baru yang Terlihat Santai Tapi Berkualitas", (klik untuk baca).

Konsep global

Ternyata prinsip-prinsip yang tak jauh beda dengan Selandia Baru juga diterapkan di negara-negara maju lainnya seperti Finlandia, Swedia, Korea Selatan, dan Jepang. Barometernya? Kualitas pendidikan mereka diakui dunia yang ditandai dengan ranking kualitas pendidikan mereka jauh di atas Indonesia.

Bahwa sistem mereka belum tentu cocok dengan kultur Indonesia, benar! Bahwa karakteristik geografi, demografi, dan teknologi di negara mereka berbeda dengan Indonesia, juga benar! Pasti tidak seluruhnya konsep pendidikan negara-negara maju bisa di-copy paste tetapi prinsip dasar yang bersifat universal bisa menjadi dasar berpijak.

Perkembangan otak, motorik, dan kognitif anak misalnya, itu universal. Lamanya anak bisa berkonsentrasi juga universal. Waktu yang dimiliki oleh setiap anak juga sama di seluruh dunia, yakni 24 jam.

Jika seorang anak menghabiskan 5 jam di sekolah, plus 3 jam mengerjakan PR dan les tambahan termasuk waktu di perjalanan, maka sisa waktu anak di rumah untuk bermain, bercengkerama dengan keluarga sambil belajar adab dan budi pekerti tentu relatif tinggal 1-2 jam sehari belum dipotong makan dan mandi.

Itu sebabnya, negara-negara maju memperlambat mulainya pelajaran calistung pada anak usia dini. Mereka menyediakan taman bermain hingga untuk murid SMP lalu menyiapkan spesialisasi murid lebih cepat di tingkat SMA untuk menghadapi dunia nyata, pekerjaan.

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara

Ah, itu kan konsep barat! Baik. Sejenak kita lupakan konsep pendidikan negara maju. Kita coba gali akar pendidikan bangsa dari Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara dikenal memiliki konsep pendidikan holistik yang meliputi olah rasio, olah rasa, olah jiwa dan olah raga. Proses pembelajaran berpusat pada murid dan dilaksanakan dalam suasana penuh keterbukaan, kebebasan, serta menyenangkan.

Ki Hajar Dewantara memperkenalkan sekolah "tanpa perintah dan sanksi". Sekolah diciptakan menyenangkan dengan sifat pamong dari para pendidik. Ki Hajar Dewantara mencita-citakan pendidikan yang memerdekakan manusia. Manusia merdeka ditandai dengan selamat raganya dan bahagia jiwanya.

Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara itu sesungguhnya merupakan perlawanan terhadap model pendidikan kolonial Belanda saat itu yang kaku, banyak aturan, penuh hukuman, termasuk soal seragam yang diwajibkan.

Berbagai literatur mengatakan bahwa konsep pendidikan kolonial Belanda saat itu kental dengan nuansa materialistik, individualistik, dan intelektualistik. Mungkin itu sebabnya sekolah beliau disebut Taman Siswa pada tahun 1922, jauh sebelum Indonesia merdeka. Konon sekolah itu dimaksudkan sebagai taman tempat bermain siswa sambil belajar.

Anehnya setelah kemerdakaan, sistem pendidikan Indonesia justru kembali ke model pendidikan kolonial tersebut. Dan ironisnya, bangsa barat justru meninggalkan kekakuan sistem pendidikan kuno mereka, termasuk soal seragam, dan "mengadopsi" konsep pendidikan yang dikenalkan Ki Hajar Dewantara, yakni bebas dan menyenangkan!

Anehnya setelah kemerdakaan, sistem pendidikan Indonesia justru kembali ke model pendidikan kolonial tersebut. Dan ironisnya, bangsa barat justru meninggalkan kekakuan sistem pendidikan kuno mereka, termasuk soal seragam, dan "mengadopsi" konsep pendidikan yang dikenalkan Ki Hajar Dewantara, yakni bebas dan menyenangkan!

Penutup

Artikel ini tidak membahas Kurikulum Merdeka Belajar secara rinci dan teknis karena pasti cukup kompleks. Sangat mungkin terdapat beberapa implementasi Kurikulum Merdeka Belajar yang kurang efektif atau belum waktunya diterapkan di Indonesia. Setiap perubahan pasti butuh waktu untuk transisi. Evaluasi menjadi penting.

Namun di atas itu, kita harus memahami bahwa kunci kebijakan publik terdapat pada logika. Jika prinsip dasar dan permasalahan telah ditemukan maka selanjutnya logikalah yang menghantarkan kebijakan. Jika riset telah menemukan fakta perkembangan otak, motorik, dan kognitif anak maka kebijakan harus menghadirkan konsep pendidikan yang mendukung perkembangan motorik dan kognitif yang baik. Bagaimana bentuk yang ideal? Riset dan inovasilah yang menjawab, bukan emosi.

Marilah kita memandang kebijakan pendidikan melalui kacamata logika. Teknis pelaksanaan bisa berubah namun jangan sampai melenceng dari alur logika yang sudah didukung oleh riset secara global.

Jika kita sebegitu antinya dengan produk negara barat, baiklah, kita kembali saja ke akar pendidikan berbudaya bangsa sendiri yang dibangun oleh Ki Hajar Dewantara alias Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Itulah konsep pendidikan yang merdeka dan menyenangkan.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun