Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Meninjau Program Makan Siang Gratis di New Zealand

5 Maret 2024   20:58 Diperbarui: 6 Maret 2024   12:21 1607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lunch box (Pixabay/Jun Yang)

Belakangan ini, program makan siang gratis jadi buah bibir di Indonesia. Program yang dicetuskan oleh pasangan capres Prabowo dan cawapres Gibran ini mungkin terasa asing bagi masyarakat Indonesia, sehingga tak jarang jadi gurauan.

Di luar negeri, kebijakan seperti ini bukanlah hal baru. Finlandia telah melakukan program makan siang gratis di sekolah-sekolah sejak 1943. Di India tahun 1995, di Brasil tahun 2009, dan New Zealand tahun 2019. Negara-negara lain seperti Amerika Serikat, Swedia, dan Estonia juga memiliki program serupa.

Tiap negara mungkin memiliki latar belakang, metode, dan cakupan yang berbeda-beda. Kali ini, kita coba tinjau pelaksanaan di New Zealand, sebuah negara maju di bagian paling selatan bumi yang pernah saya tinggali.

Ka Ora, Ka Ako

Program Healthy School Lunches (makan siang sehat di sekolah) New Zealand dimulai pada tahun 2020 semasa pemerintahan PM Jacinda Ardern. Pemerintah saat itu adalah koalisi Partai Buruh, Green, dan New Zealand First.

Program bernama Ka Ora, Ka Ako ini dimaksudkan untuk mengurangi kerawanan pangan anak-anak New Zealand dengan memberikan makan siang bergizi setiap hari. Ka Ora, Ka Ako dalam bahasa Maori (budaya penduduk asli New Zealand) berarti sehat dan sejahtera.

Ujicoba pertama dilakukan pada 120 sekolah dasar dan menengah (kelas 1-8). Awalnya, program ini menargetkan 21.000 anak pada tahun 2021 namun pandemi Covid-19 membuat pemerintah mempercepat bahkan memperluas cakupan hingga 214.000 anak di tahun 2020.

Pada September 2023, program ini telah menjangkau 230 ribu anak di 998 sekolah di seluruh New Zealand. Program ini seyogyanya berakhir di tahun 2023 namun diperpanjang hingga Desember 2024. Ada wacana melanjutkan dan ada pula yang mengkritisinya.

Latar belakang

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa negara semaju New Zealand masih menghadapi tantangan kesejahteraan. Menurut kajian mereka, 1 dari 5 anak New Zealand masih terkendala makanan bergizi. Masih ada anak-anak yang belum sarapan atau mengkonsumsi sarapan layak ketika mereka datang ke sekolah.

Penelitian menunjukkan bahwa kecukupan pangan bagi anak-anak dan remaja mendukung perkembangan dan pembelajaran anak; meningkatkan tingkat konsentrasi, perilaku, dan prestasi; mengurangi kesulitan keuangan keluarga; mengatasi hambatan partisipasi anak-anak dalam pendidikan, termasuk meningkatkan kehadiran di sekolah; dan meningkatkan kesehatan murid secara keseluruhan.

Itu sebabnya, sekolah negeri semacam Epuni Primary School, tempat anak saya belajar, menyediakan susu dan buah setiap pagi sebelum pelajaran dimulai. Di siang hari, makanan disediakan di hall bagi murid yang tidak membawa bekal. Praktik ini sudah berjalan bahkan sebelum program Ka Ora, Ka Ako diterapkan.

Partisipasi

Mengingat data bahwa 1 dari 5 anak kesulitan pangan, maka program makan siang ini ditujukan pada 25% murid yang menghadapi tantangan sosio-ekonomi. Ada banyak faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan partisipasi sekolah dalam program tersebut. Pertimbangan utamanya mengacu pada Indeks Ekuitas.

Indeks Ekuitas (EQI) adalah model statistik yang digunakan untuk mengidentifikasi hambatan sosio-ekonomi murid di sekolah. Indeks ini digunakan dalam menentukan tingkat bantuan operasional, tambahan keuangan, termasuk program makan siang ini.

EQI memperkirakan sejauh mana siswa menghadapi hambatan sosio-ekonomi yang dapat berdampak pada prestasi mereka di sekolah. Sekolah dengan angka EQI yang lebih tinggi menghadapi tantangan sosio-ekonomi yang lebih besar dibandingkan sekolah lain. Dengan demikian, distribusi makan siang tidak sama untuk semua daerah di New Zealand.

Distribusi

Sekolah diberi kebebasan untuk melakukan swakelola atau menggunakan penyedia lain dalam mengadakan makan siang tersebut. Jika menggunakan penyedia, penunjukkannya dilakukan melalui sistem pengadaan barang jasa elektronik, seperti LPSE atau e-catalog yang digunakan di Indonesia.

Berhubung New Zealand merupakan negara kecil, operasional program ini langsung ditangani oleh Kementerian Pendidikan. Sekolah pun tidak terbebani dengan proses kontrak dan pembayaran namun punya keleluasaan untuk memilih menu, menambah dan menentukan waktu pengantaran.

Pembiayaan

Uniknya, biaya per makanan yang ditetapkan berbeda-beda menurut kelas murid. Porsi makan anak yang lebih tua diasumsikan lebih banyak dibanding anak yang usianya lebih muda sehingga biayanya sedikit lebih mahal.

Harga yang dibayarkan pemerintah jika sekolah melakukan swakelola juga sedikit di bawah harga jika disediakan oleh pihak ketiga. Pada anggaran tahun 2024, biaya makanan per anak ditetapkan antara 5,78 hingga 8,29 dolar atau sekitar 55 hingga 79 ribu rupiah.

Pemerintah New Zealand juga menghitung biaya tenaga kerja yang menyiapkan makanan. Tenaga kerja tersebut dibayar minimal 26 dolar per jam, atau sekitar 250 ribu rupiah. Total anggaran tahun 2024 untuk program sekitar 325 juta dolar atau senilai lebih dari 3 triliun rupiah.

Dampak

Setelah berjalan selama tiga tahun, program ini diapresiasi berbagai pihak, terutama pihak sekolah dan akademisi. Seorang kepala sekolah di Auckland, Arihia Stirling, mengatakan di televisi bahwa program ini membuat anak-anak lebih fokus dan jumlah siswa yang harus bekerja untuk membantu membiayai kebutuhan pokok keluarga telah menurun.

Penelitian di Auckland University juga menunjukkan bukti manfaat pelaksanaan program ini. Kelly Garton dkk., yang melakukan penelitan itu mengatakan bahwa program Ka Ora, Ka Ako lebih dari sekedar mengisi perut anak-anak yang lapar.

Mereka menunjukkan bukti bahwa program itu menawarkan banyak hal bagi murid, sekolah, komunitas, dan sistem pangan secara lebih luas. Dampak di berbagai tingkat ini kemudian bergulir dan mempengaruhi satu sama lain, seperti meningkatkan ekonomi lokal dan lingkungan sekolah.

Salah satu aktivis kesehatan, Profesor Boyd Swinburn, menyebutkan bahwa program itu meningkatkan gizi bagi 7,3 persen murid, yang tidak memiliki akses yang cukup terhadap makanan di rumah. Swinburn juga mengutip pernyataan dari PISA (lembaga penilaian murid internasional) bahwa murid yang mengalami kerawanan pangan, rata-rata, tertinggal dua hingga empat tahun dari teman sekolahnya yang tidak mengalami kerawanan pangan.

Meski demikian, penilaian bahwa program ini kurang bermanfaat juga muncul, yang menariknya, diutarakan oleh Menteri Pendidikan New Zealand sendiri. Sang Menteri bahkan mempertimbangkan untuk tidak melanjutkan program ini, mengingat biaya yang dikeluarkan cukup besar.

Menurutnya, tidak ditemui dampak nyata program tersebut terhadap kehadiran murid maupun prestasi secara nasional. Di beberapa kasus, makanan justru terbuang karena tidak dikonsumsi. Tambah lagi, dampak negatif limbah kemasan makanan.

Sebagai informasi, Menteri Pendidikan New Zealand saat ini, David Seymour, adalah pemimpin Partai ACT, salah satu dari koalisi partai yang berkuasa sejak tahun 2023. Sementara Partai Buruh yang melahirkan program tersebut, saat ini berperan sebagai oposisi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun