New Zealand adalah salah satu negara yang penyediaan energi listriknya didominasi oleh energi baru terbarukan (EBT). Penyedia koneksi listriknya, banyak. Otomatis harga dan pelayanan menjadi kompetitif. Meski penyedianya banyak tetapi infrastruktur yang digunakan adalah sama. Mari kita tilik.
Kompetitif
Di New Zealand (NZ), penyedia atau distributor listrik dibebaskan ke pasar. Artinya, layanan distribusi listrik boleh dilakukan oleh berbagai perusahaan swasta. Pada tahun 2022, tercatat ada 14 penyedia listrik yang beroperasi di NZ. Tarif tidak jauh berbeda. Masing-masing penyedia hanya berlomba menawarkan pelayanan terbaik plus paket-paket yang  menarik bagi konsumen.Â
Misalnya, ada yang memberikan potongan harga jika dikontrak sepaket dengan koneksi internet. Ada perusahaan yang membebaskan penalti untuk pemutusan kontrak kapan saja. Saya sendiri, saat tinggal di sana, memilih penyedia listrik yang memberikan potongan harga jika pembayaran dilakukan tepat waktu.
Setiap persaingan usaha pada umumnya menguntungkan konsumen. Hal ini juga terjadi di NZ. Selain harga, pelayanan penyedia listrik juga kompetitif. Jelas saja, kita bisa pindah ke penyedia lain jika merasa tidak puas dengan satu penyedia.
Kebijakan untuk membuka pasar kelistrikan di NZ, dimulai sejak tahun 90-an (the Electricity Act 1992)[1]. Kemudian di tahun 1998, dikeluarkan aturan Electricity Industry Reform Act (EIRA) yang merubah bentuk pemasaran listrik menjadi seperti sekarang ini.
Menariknya, penyedia listrik di NZ banyak, padahal pasarnya kecil. Penduduknya cuma 5 jutaan orang! Kue kecil inilah yang dibagi-bagi oleh perusahaan distributor listrik meskipun perusahaan-perusahaan tersebut berstatus internasional, artinya tidak hanya beroperasi di NZ. Bandingkan dengan kebutuhan listrik 200 Â juta lebih penduduk Indonesia.
Namun, banyaknya penyedia listrik ini tidak mengakibatkan kabel dan tiang listrik menjadi banyak pula. Kabel dan meteran listrik di setiap gedung tetap tunggal. Siapapun penyedianya, mereka menggunakan infrastruktur (kabel dan tiang) yang sama yang telah disediakan oleh pemerintah. Pola yang sama juga berlaku pada koneksi telepon dan internet. Perusahaan penyedia tidak bertanggung jawab terhadap jaringan kabel tetapi terhadap ketersediaan listrik dan pelayanan pelanggannya.
Konsumen hanya perlu menghubungi perusahaan penyedia jasa untuk mendapat koneksi listrik. Penggunaan dan pembayarannya kemudian menggunakan aplikasi elektronik berbasis web atau telepon seluler, sesuai yang dikembangan penyedia.
Sistem elektronik online ini menjadi keunggulan lain dari pemasaran listrik di NZ. Konsumen bisa melihat tagihan bahkan memantau penggunaan listrik per jam melalui aplikasi di ponsel. Konsumen juga bisa mengatur waktu aktivasi pemanas air (heat pump) agar lebih hemat daya.
Energi baru terbarukan
Sebanyak 81% produksi listrik NZ telah menggunakan energi terbarukan[2]. Itulah mengapa NZ mengklaim intensitas emisi gas rumah kaca mereka relatif rendah. Situs Worldometer menunjuk angka 33,2 juta ton untuk CO2 yang dihasilkan NZ selama tahun 2016[3]. Angka ini masih dibawah negara-negara berpenduduk setara (4-5 juta jiwa) yang "peduli emisi" seperti Denmark, Irlandia, Norwegia, dan Singapura. Perbandingan kontrasnya, Kuwait dan Qatar yang berpenduduk 3,9 juta dan 2,6 juta saja menghasilkan sekitar 100 juta ton CO2 per tahun.
Pemerintah menyediakan listrik untuk kemakmuran rakyatnya. Memberikan hak distribusi kepada swasta juga untuk kesejahteraan rakyat.
Pemerintah NZ menargetkan angka 90% pada tahun 2025[4]. Kebijakan-kebijakan pun diambil, seperti memudahkan investasi di sektor energi terbarukan, memperketat pembatasan emisi perusahaan dan menukarnya dengan investasi di bidang kelistrikan, memperbaiki manajemen kelistrikan, serta mengeksplorasi dan memelihara sumber-sumber energi terbarukan.
Air telah menyokong listrik NZ selama 100 tahun terakhir[5]. Pembangkit listrik tenaga air telah menghasilkan 56% dari seluruh listrik New Zealand. Tenaga panas bumi menyuplai 15%, tenaga angin 5%, dan bioenergi 1%.Â
Pembangkit listrik tenaga panas bumi New Zealand dikembangkan pada tahun 1958 dan itu adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi kedua di dunia[6]. Pembangkit listrik tenaga angin kemudian menyusul dibuka pada tahun 1997. Air, panas bumi, dan angin memang sumber daya alam yang banyak terdapat di New Zealand. Kedengarannya tidak asing dengan Indonesia, ya? Ya, kondisi geografinya memang mirip. Terdapat banyak air dan panas bumi karena juga merupakan daerah cincin api.Â
Selain untuk kebutuhan energi listrik, keberadaan turbin-turbin di ladang angin (wind farm) juga menjadi daya tarik wisata. Keberadaannya di atas bukit-bukit New Zealand menarik untuk dilihat dan diabadikan dengan kamera. Kombinasi turbin-turbin dengan peternakan menjadi potret ikonik di NZ.
Ketersediaan bahan bakar fosil di perut bumi terbatas, pun jika disedot terus-menerus akan merusak keseimbangan bumi. Ada sumber energi yang terus bisa terbarukan dan ramah lingkungan. Itulah yang dimaksimalkan penggunaannya.
Referensi:
[1] Shen, D., & Yang, Q. (2012). Electricity market regulatory reform and competition -- case study of the New Zealand electricity market. in Wu, Y., X. Shi, and F. Kimura (eds.), Energy Market Integration in East Asia: Theories, Electricity Sector and Subsidies, ERIA Research Project Report 2011-17, Jakarta: ERIA, pp.103-139.
[2] Distribution of electricity generation in New Zealand in 2020, by source. (2022, 7 Maret). In Statista. https://www.statista.com/
[3] CO2 emmissions by country. (2022, 28 Maret). In Worldometer. https://www.worldometers.info/
[4] New Zeealand Energy Strategy 2011-2021. (2011). The New Zealand Ministry of Eonomic Development. https://www.mbie.govt.nz/
[5] Electricity statistics. (2022, 7 Maret). Ministry of Business, Innovation & Employment. https://www.mbie.govt.nz/
[6] Geothermal energy generation. (2002, 27 Maret). Â New Zealand Ministry of Business, Innovation & Employment. https://www.mbie.govt.nz/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI