Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Toilet dan Pariwisata dalam Perspekif New Zealand

20 Februari 2022   14:58 Diperbarui: 20 Februari 2022   15:05 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toilet musik di Highlands Motorsport Park, Cromwell (Foto: Stuff/ Brook Sabin)

Disclaimer: Artikel ini merupakan bagian dari naskah buku "Ah, Logika NZ Sederhana, Aja" yang mengulas penerapan logika sederhana dalam kebijakan publik di New Zealand. Oleh karena itu, tentu saja contoh kasusnya adalah New Zealand, bukan berarti negara lain tidak melakukan hal-hal yang disebutkan di sini. Bukan pula berarti NZ tidak memiliki kelemahan dan cara mereka harus ditiru bulat-bulat. Membicarakan hal-hal yang positif dipercaya membantu kita mengasah kepekaan terhadap lingkungan sekitar dan merangsang inspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

---

Pada artikel sebelumnya yang berjudul Toilet Umum adalah Kebutuhan karena Buang Air Itu Hak, kita membahas pentingnya toilet dalam kehidupan manusia. Pada saat yang sama, ketersediaan toilet juga menjadi salah satu indikator dukungan terhadap pariwisata.

Toilet umum merupakan fasilitas untuk melayani para pengunjung (wisatawan) yang setelah itu meninggalkan kesan. Nah, kesan yang buruk tentang ketiadaan atau kebersihan toilet akan mempengaruhi citra wisata tempat tersebut. Demikian pula sebaliknya.

Saking toilet itu penting, dibentuklah World Toilet Organization (WTO) pada tahun 2001. Asosiasi Toilet Indonesia (ATI) sendiri dibentuk pada tahun 2002. Di websitenya, ATI sangat kuat menjelaskan pentingnya toilet melalui tagline-tagline mereka yakni: “Membangun karakter bangsa yang bersih, sehat, dan ramah lingkungan”, “Toilet mencerminkan budaya dan kondisi ekonomi suatu komunitas”, dan “Negara yang tidak mempunyai toilet umum yang bersih menunjukkan bahwa negara itu tidak berbudaya”. Lugas, jelas, dan keras, ya?

Toilet di destinasi wisata harus memiliki desain dan fasilitas yang baik yang berstandar nasional, kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Ia paham bahwa toilet seperti itu akan meningkatkan citra destinasi wisata dan menarik kunjungan wisatawan. Kemenparekraf sendiri telah membentuk Satgas Toilet Indonesia pada Februari 2021 untuk mendorong dan mengawal ketersediaan toilet-toilet umum dalam mendukung pariwisata di Indonesia.

Cerita soal toilet tidak lengkap kalau tidak menyinggung kritik Menteri BUMN Erick Thohir pada bulan November 2021 tentang toilet berbayar di banyak SPBU. Pengelola SPBU umumnya menggunakan biaya pemeliharaan sebagai alasan pengutipan uang. Saat itu, Erick menegaskan bahwa BUMN berkewajiban memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat. Toilet umum, mestinya gratis.

Penelitian yang dilakukan Carolyn Childs dan Bronwyn White (pendiri situs My Travel Research) menunjukkan bahwa kualitas toilet umum sangat mempengaruhi persepsi wisatawan terhadap destinasi wisata. Bukan hanya soal kebersihan, pengalaman yang didapat dari toilet unik dan menghibur turut mendorong wisatawan untuk datang kembali. Menurut Childs dan White, toilet adalah merek (brand) penting bagi pariwisata, toilet yang keren memiliki nilai public relation yang besar, dan toilet dapat mengubah minat menjadi wisatawan (yang berarti uang).

Itulah mengapa ketika kita masih sibuk mempersoalkan ketersediaan toilet umum, insan pariwisata New Zealand malah telah mengeksplorasi ide-ide kreatif dalam mendesain toilet umum. Anda bisa temukan di internet, foto dan video toilet-toilet unik di NZ. Ada yang mengusung tema tertentu dan ada yang bergaya abstrak.

Toilet tourism

Salah satu toilet tematik yang sangat menarik karena out of the box adalah toilet musik di Highlands Motorsport Park Cromwell. Urinoir di toilet pria berbentuk instrumen-instrumen musik yang jika dipipisi, mengeluarkan suara sesuai bentuk instrumennya. Ada drum, saxofon, dan cello plus satu urinoir berbentuk Trump yang tak ingin saya bahas di sini.

Toilet-toilet unik sengaja dibangun para seniman dan arsitek NZ untuk menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata. Biayanya tentu tidak murah. Toilet berdesain wajah berhadapan di Matakana kabarnya menghabiskan 400.000 dolar NZ atau nyaris 4 miliar rupiah. Namun jangan terburu-buru juga meng-wow-kan angka ini, apalagi jadi pesimis, karena nilainya tentu berbeda dengan nilai di Indonesia, terkait kurs, daya beli, dan tingkat upah. Membangun toilet seperti itu di Indonesia, biayanya pasti jauh lebih murah.

Toilet berdesain wajah berhadapan di Matakana (Foto: Stuff/Holger Voth)
Toilet berdesain wajah berhadapan di Matakana (Foto: Stuff/Holger Voth)

Mengapa mereka menghabiskan banyak duit untuk membangun toilet padahal dipergunakan secara gratis? Semuanya demi seni dan pariwisata. New Zealand mengaku sudah menceburkan diri ke dalam wisata toilet. Iya, toilet tourism! Wisata ini sudah dikenal di dunia, Bro.

International Toilet Tourism Awards yang pertama digelar pada tahun 2017 untuk mendorong inovasi, kebersihan, dan desain toilet yang diyakini dapat meningkatkan ekonomi pariwisata daerah setempat. Mungkin berkaitan dengan itulah mengapa Kementerian Pariwisata New Zealand menganggarkan 19,3 juta dolar NZ (hampir 193 miliar rupiah) pada tahun 2018, yang sebagian besarnya dialokasikan untuk pembangunan dan renovasi toilet.

Bagaimana dengan Indonesia? Owh, jangan diragukan, kreativitas para seniman dan arsitek kita. Mereka bisa membuat toilet yang lebih aneh dan lebih menyenangkan lagi. Anggaran kita juga cukup. Tetapi dalam ekonomi kreatif, yang dihargai paling mahal itu adalah ide orisinil. Jadi kita tidak harus membuat toilet seperti di NZ itu lagi tetapi menggali ide-ide lain yang belum dipikirkan oleh orang banyak.

Sebentar, mari kita berkonsentrasi dulu untuk menyediakan toilet yang layak, bersih, dan gratis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan para pelancong. Saya tahu, para seniman dan arsitek kita sudah tidak sabar untuk berkarya tetapi kesempatan dan dukungan untuk itu harus disiapkan terlebih dahulu.

Catatannya adalah, pariwisata masa kini adalah soal kreativitas. Apa saja yang bisa dibuat menarik akan menjadi tambang uang berlabel wisata. Well, toilet memang bukan destinasi utama dan tidak bisa berdiri sendiri. Dia adalah pelengkap yang pada saat yang sama mendukung wisata alam, gedung bersejarah dan wisata buatan lainnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun