Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ dan melayani publik di Kota Medan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Toilet Umum adalah Kebutuhan karena Buang Air Itu Hak

9 Februari 2022   06:18 Diperbarui: 20 Februari 2022   23:32 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anda pernah kebelet pipis tetapi kesulitan mencari toilet? Saya juga, karena kita mahluk hidup yang punya sistem ekskresi dan kadang berada jauh dari rumah. Lalu kemana kita harus memenuhi panggilan alam itu?

Esai ini mengulik kondisi pertoiletumuman di New Zealand, meskipun banyak negara lain juga melakukan hal yang sama. Esai ini juga bukan untuk sekedar membanding-bandingkan, melainkan sedikit merangsang kepekaan kita terhadap kebijakan publik yang sejatinya berangkat dari logika sederhana.

Nah, di New Zealand, toko, kafe, atau restoran tidak menyediakan toilet umum. Beberapa supermarket dan SPBU membuka toiletnya untuk umum tetapi lebih banyak yang tidak. Kok, gitu ya? Sumber daya manusia (SDM) jadi alasan.

Di sana, tenaga kerja itu terbatas dan relatif mahal. Untuk merawat toilet umum dibutuhkan petugas khusus yang bayarannya per jam. 

Di sana tidak ada tuh, kasir merangkap kebersihan. Kalau pun ada, hitungan gajinya pasti beda lagi. Terus, gimana dong, kalau kebelet pipis? Tenang, pemerintah hadir. Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan setiap orang bisa buang air pada tempatnya.

Fitur dan fasilitas

Pemerintah NZ menyediakan toilet umum yang biasanya dibangun tersendiri di luar gedung, seperti di taman atau sudut-sudut kota. Mirip kondisi di Indonesia jaman dahulu, kan yah? 

Dahulu, tuh, banyak bangunan kecil bernama MCK (mandi, cuci, kakus) yang dibangun oleh pemerintah. Setelah semua orang punya toilet di rumah masing-masing, MCK pun menghilang, terutama di perkotaan. Padahal aturan soal toilet umum masih ada, lho, lengkap dengan standarnya.

Dikutip dari situs Kementerian Pekerjaan Umum RI, standar toilet umum itu detil, seperti ukuran minimal, kelembaban udara 40% dengan taraf pergantian udara yang baik yaitu mencapai angka 15 air-change per jam. 

Suhu udara 20-27 derajat Celsius hingga teknis bangunan seperti material dinding, langit-langit, lantai[1]. Wow, detil, yah... Artinya, kebijakan membangun toilet umum itu ada.

Sudah, yuk, kita kembali ke NZ. Di sana, toilet-toilet umum ditentukan jarak rasionalnya dan selalu dilengkapi papan petunjuk. Lokasi toilet juga tercatat di Google Map. 

Jadi kalau kita harus buang air di tempat asing, coba cari dulu titik toilet via Google Map supaya tidak keliling-keliling sambil kebelet, selanjutnya perhatikan papan petunjuk yang mengarahkan ke lokasi toilet.

Kondisi dan fitur toilet di NZ bervariasi. Di beberapa tempat, terutama di kota atau dekat keramaian, toilet dilengkapi sistem elektronik untuk membuka dan mengunci pintu, termasuk penyiraman secara otomatis. 

Pada toilet yang canggih malah ada musik yang otomatis terdengar saat pintu terkunci. Timer mengatur kuncian pintu selama sepuluh menit, lalu kunci terbuka dengan sendirinya diiringi suara peringatan. Jika kita masih belum selesai, pintu bisa dikunci kembali untuk sepuluh menit kedua.

Kebanyakan toilet umum juga menyediakan keran air siap minum. Jika tidak terhubung dengan jaringan air minum, peringatan pastilah terpampang jelas di atas keran "Not drinkable water". 

Oh, iya, semua toilet umum di NZ itu gratis, termasuk yang ada di mal atau tempat pertunjukan. Hanya saja, seperti juga beberapa negara lain, New Zealand menganut sistem toilet kering. 

Tidak ada yang namanya bak, ember, atau semprotan untuk cebok (automatic bidet) di semua toilet. Siapkan portable bidet (botol cebok) sendiri jika Anda merasa perlu.

Biaya

Sebenarnya urusan toilet umum di sana itu jatuhnya lebih ribet karena wajib menyediakan toilet paper alias tisu toilet. Belum lagi tisu untuk lap tangan atau mesin pengering. 

Tisu toilet itu vital dan fatal karena tidak adanya bidet atau air untuk cebok. Bayangkan kalau stok tisu sempat habis, apa yang kira-kira Anda lakukan setelah buang air besar? 

Itu sebabnya saat lockdown diberlakukan akibat Covid-19, salah satu barang yang lebih dulu habis diborong orang adalah tisu toilet.

Ada satu lagi fasilitas toilet yang tak kalah pentingnya, yaitu tempat pembuangan pembalut wanita (sanitary disposal). Jelas itu penting, bukan? Selama ini, ibu-ibu dan mba-mba kalau di tempat umum, buang pembalut bekas pakainya dimana? Di tempat sampah? Pfffh….

Sanitary disposal di toilet umum (Dokpri)
Sanitary disposal di toilet umum (Dokpri)

Poinnya adalah, menyediakan toilet umum di New Zealand itu tidak mudah. Harus ada petugas yang membersihkan, mengambil sampah tisu dan mengisi stoknya kembali, juga membuang pembalut secara berkala.

Semua itu biasanya dikerjakan oleh pihak ketiga dan bukan pegawai pemerintah atau tenaga honor seperti di Indonesia. Pemerintah tidak perlu pusing-pusing mengelola banyak pegawai. 

Kalau kerja petugas kebersihan itu tidak becus, kontraknya tinggal diputus lalu ditawarkan ke perusahaan yang lain. Ada monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara berkala.

Toilet umum sebenarnya juga bukan tanpa masalah bagi pemerintah setempat. Selain soal biaya, isu keamanan juga menyeruak di toilet yang berada di tempat sepi. 

Pengelolaan toilet umum jelas butuh biaya. Pemerintah lokal menganggarkan biaya operasional yang besar padahal ada beberapa toilet yang jarang digunakan karena berada di lokasi sepi. Isu ini pun pernah dibahas di publik hingga muncul wacana agar pemerintah menutup sebagian atau seluruhnya toilet umum dan sebagai gantinya memberi dana kompensasi pemeliharaan kepada kafe-kafe agar mereka membuka toiletnya untuk umum[2]. Namun kebijakan ini tampaknya belum menjadi pilihan pemerintah di New Zealand.

Logika saya begini, kalau orang tidak menemukan toilet untuk buang air maka mereka pasti membuangnya di mana saja karena tubuh tidak bisa menahannya terlalu lama apalagi jika mengalami gangguan kesehatan.

Penduduk setempat bisa saja lari ke rumah atau sudah buang air terlebih dahulu sebelum bepergian tetapi bagi seorang pelancong, keadaannya pasti lebih rumit. 

Jika orang-orang dibiarkan membuang air di pohon, tembok, semak-semak, atau sungai, maka kota tentu menjadi kotor, bau, dan tentu tidak sehat.

Lagi pula, karena ekskresi adalah kodrat manusia, kebutuhan buang air sama mendasarnya dengan makan dan minum. Oleh karena itu, pemenuhannya harus diperhatikan.

Di artikel selanjutnya kita akan melihat bagaimana toilet bukan saja berupa kewajiban pemenuhan kebutuhan, melainkan juga unsur penting dalam pariwisata.

___

Artikel ini merupakan cuplikan dari buku "Ah, Logika NZ Sederhana Aja..." yang segera diterbitkan.

Dokpri
Dokpri

Referensi:

[1] Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat RI. (2019, 1 Maret). Standar toilet umum Indonesia. https://pustaka.pu.go.id

[2] Stock, R. (2018, 28 Juli). Time to close public toilets? Stuff. https://www.stuff.co.nz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun