Poinnya adalah, menyediakan toilet umum di New Zealand itu tidak mudah. Harus ada petugas yang membersihkan, mengambil sampah tisu dan mengisi stoknya kembali, juga membuang pembalut secara berkala.
Semua itu biasanya dikerjakan oleh pihak ketiga dan bukan pegawai pemerintah atau tenaga honor seperti di Indonesia. Pemerintah tidak perlu pusing-pusing mengelola banyak pegawai.Â
Kalau kerja petugas kebersihan itu tidak becus, kontraknya tinggal diputus lalu ditawarkan ke perusahaan yang lain. Ada monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara berkala.
Toilet umum sebenarnya juga bukan tanpa masalah bagi pemerintah setempat. Selain soal biaya, isu keamanan juga menyeruak di toilet yang berada di tempat sepi.Â
Pengelolaan toilet umum jelas butuh biaya. Pemerintah lokal menganggarkan biaya operasional yang besar padahal ada beberapa toilet yang jarang digunakan karena berada di lokasi sepi. Isu ini pun pernah dibahas di publik hingga muncul wacana agar pemerintah menutup sebagian atau seluruhnya toilet umum dan sebagai gantinya memberi dana kompensasi pemeliharaan kepada kafe-kafe agar mereka membuka toiletnya untuk umum[2]. Namun kebijakan ini tampaknya belum menjadi pilihan pemerintah di New Zealand.
Logika saya begini, kalau orang tidak menemukan toilet untuk buang air maka mereka pasti membuangnya di mana saja karena tubuh tidak bisa menahannya terlalu lama apalagi jika mengalami gangguan kesehatan.
Penduduk setempat bisa saja lari ke rumah atau sudah buang air terlebih dahulu sebelum bepergian tetapi bagi seorang pelancong, keadaannya pasti lebih rumit.Â
Jika orang-orang dibiarkan membuang air di pohon, tembok, semak-semak, atau sungai, maka kota tentu menjadi kotor, bau, dan tentu tidak sehat.
Lagi pula, karena ekskresi adalah kodrat manusia, kebutuhan buang air sama mendasarnya dengan makan dan minum. Oleh karena itu, pemenuhannya harus diperhatikan.
Di artikel selanjutnya kita akan melihat bagaimana toilet bukan saja berupa kewajiban pemenuhan kebutuhan, melainkan juga unsur penting dalam pariwisata.
___