Manchester United mereguk kemenangan 1-4 saat dijamu Newcastle dini hari tadi (18/10). Kemengangan besar ini menjadi minuman yang memuaskan tenggorokan kering setelah selama dua minggu digoyang isu ketidakharmonisan klub pascakekalahan telak melawan Tottenham (4/10).
Media-media mengangkat isu pemecatan Ole Gunnar Solskjaer. Nama Pochettino—eks manajer Tottenham yang sedang mengganggur—pun mencuat. Apakah hasil pagi ini mengamankan Solskjaer? Untuk saat ini mungkin iya.
Tetapi apakah Manchester United kembali ke jalur juara Liga Inggris? Tidak. Menurut saya materi Manchester United saat ini bukan materi tim juara.
Setelah perekrutan lima pemain anyar, van de Beek, Telles, Traore, Pellistri, dan Cavani, market value United diperkirakan hanya mencapai 799,85 juta Euro (Transfermarkt).
Hanya ada 15 pemain nasional dalam tim dan belanja United musim ini pun cuma sebesar 68,50 juta Euro. Pembelian termahal adalah van de Beek, yaitu 39 juta Euro.
Data ini sebenarnya tak beda jauh dengan musim lalu. United terlihat ditinggal rival sekotanya, Manchester City yang menggelontorkan 101,65 juta Euro untuk membeli tujuh pemain baru.
Dua pembelian mahal City musim ini adalah Ruben Dias (68 juta Euro) dan Nathan Ake (45,3 juta Euro). Nilai skuad City saat ini diperkirakan sebesar 1,08 miliar Euro dan terdapat 19 pemain nasional di dalamnya.
Liverpool memang tidak boros belanja, hanya 36,5 juta Euro, tetapi dengan itu saja nilai skuadnya telah mencapai 1,08 miliar Euro. Sama dengan City. Dua pembelian terbaru Liverpool pun dianggap berkelas karena mendatangkan Diogo Jota dan Thiago, pemain yang sudah jadi. Total terdapat 21 pemain nasional yang memperkuat skuad Liverpool saat ini.
Chelsea lebih jor-joran lagi dengan 171,20 juta Euro hanya untuk membeli lima pemain. Harga termahal pemain barunya mencapai 80 juta yakni Kai Havertz dari Leverkusen. Tercatat ada 20 pemain nasional di tim Chelsea yang keseluruhannya bernilai 838,9 juta Euro.
Tottenham? Nilai skuadnya memang Cuma 738,55 juta Euro tetapi ada 19 pemain nasional di sana dan musim ini mereka sedang berbenah dengan menghabiskan 97,2 juta Euro untuk memboyong enam pemain baru. Sementara Arsenal membelanjakan 67,35 juta Euro untuk empat pemain. Nilai skuad Arsenal adalah yang paling kecil diantara tim big six, yaitu 631,95 juta Euro dan juga hanya diperkuat 13 pemain nasional.
Tak heran para penggemar menyasar manajemen United yang dikepalai Ed Woodward. Chief Executive United itu dituduh pelit dan tak lihai di bursa pemain. Padahal sudah delapan tahun United puasa trofi Liga Inggris. Trofi yang dulunya menjadi langganan Manchester United.
Solksjaer terlihat tidak punya wewenang besar dalam perekrutan pemain. Seperti kebanyakan klub Eropa modern, presiden, CEO atau pemilik klub lebih berkuasa mendatangkan pemain.
Berbeda dengan Sir Alex Ferguson di zamannya yang bahkan mendatangi langsung Roy Keane untuk meyakinkannya bergabung. Pada akhirnya, Sir Alex juga yang “memecat” Keane.
Sejarah klub-klub Inggris memang menunjukkan peran besar manajer dalam menakhodai timnya. Itu sebabnya sebutan manajer lebih digunakan di Inggris dari pada istilah pelatih kepala.
Manajer dimaknai dengan orang yang mengatur tim bukan hanya melatih secara teknis. Itu sebabnya United tidak pernah punya Director of Football. Tetapi belakangan tradisi ini meluntur seiring komersialisasi sepakbola gila-gilaan diikuti masuknya para investor asing.
Seperti di negara-negara lain termasuk Indonesia, ada sosok manajer disamping pelatih kepala yang seringnya bukan praktisi sepakbola. Pengelolaan pemain termasuk perekrutan dan pelepasan pun tidak berada di tangan pelatih.
Padahal pelatihlah yang sangat paham karakter pemain yang dibutuhkannya termasuk kondisi psikologis atau chemistry dalam hubungan mereka yang pengaruhnya sangat besar dalam kesuksesan tim.
Argumen bahwa materi Manchester United bukan tim juara bukan hanya soal nilai skuad. Melihat kondisi United pada musim lalu dan awal musim ini, pengamat dan penggemar sepakat bahwa United butuh center back dan center forward yang lebih mumpuni. Sosok yang sekelas Ferdinand, Vidic, Rooney, atau van Nistelrooy.
United memang sudah punya Rashford dan Martial yang masih muda tetapi kompetisi yang dijalani cukup padat. Idealnya, tim punya empat striker dengan kualitas yang tidak jauh berbeda untuk dirotasi.
Sayangnya, setelah melepas Lukaku, United justru tidak mendatangkan sosok bertipe target man. Setelah melepas Smalling, penggantinya pun tak lebih baik, terutama untuk bola udara yang sering jadi masalah.
Manajemen United malah menumpuk pemain tengah dengan mendatangkan Fernandes dan van de Beek, alhasil Solksjaer pun belum menemukan pakem yang baku dan formasi utama.
Sayap kiri dan kanan juga belum jadi kekuatan yang baku. Pemain-pemain muda seperti James, Greenwood, dan McTominay masih dicoba-coba bergantian di beberapa posisi. Performa mereka pun masih angin-anginan.
Van de Beek terlihat menjanjikan dengan determinasi tinggi sebagai gelandang serang yang eksplosif. Pogba, Mata dan Fernandes bertipikal stylish, bukan sejenis Scholes. Namun usia van de Beek yang masih muda tentu butuh waktu untuk pematangan. Terbukti ia masih sering dibiarkan duduk di bangku cadangan.
Kedatangan Cavani sendiri masih spekulatif. Apakah ia mampu beradaptasi di usianya yang tak lagi muda ditambah kondisinya yang cedera di musim lalu? Traore dan Pellistri datang untuk mengisi tim cadangan mengingat usia mereka yang masih 18 tahun.
Melihat nilai dan kematangan tim utama saat ini, United belumlah sekuat rival-rivalnya, terutama Manchester City dan Liverpool. Tambah lagi, Solksjaer harus membagi materi pemainnya itu untuk melakoni empat ajang kompetisi.
Posisi empat besar sudah merupakan pencapaian bagus, seperti yang dianalisis para pundit sejak musim lalu. Jika cedera menerpa barisan depan dan belakang, United bakal limbung, terperosok ke papan tengah bahkan bawah. Seperti biasa, kambing hitam yang paling mudah dikorbankan adalah pelatih alias manajer, bukan CEO.
Iya, sih. Sepakbola tak selamanya bisa dihitung secara matematika. Ketika CEO dan penggemar terperangah melihat Leicester City mendadak juara di musim 2015/2016, itu sangat wajar. Tetapi jika mereka lantas menuntut klubnya untuk bersaing di jalur juara, itu kebangetan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H