Mohon tunggu...
Bergman Siahaan
Bergman Siahaan Mohon Tunggu... Penulis - Public Policy Analyst

Penikmat seni dan olah raga yang belajar kebijakan publik di Victoria University of Wellington, NZ

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Momentum Timnas Terganggu Kebijakan Federasi

9 September 2020   08:18 Diperbarui: 9 September 2020   21:03 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas U-19 di Tahun 2019/Foto: ANTARA/Yusran Uccang

Dua laga ujicoba Timnas U-19 di Kroasia, membuka memori saya saat-saat PSSI menunjuk Shin Tae-yong akhir 2019 lalu. Bukan, bukan tentang kualitas teknisnya yang saya catat di sini, tetapi tentang momentum Timnas yang terganggu oleh kebijakan PSSI sendiri. 

Diluar Simon McMenemy yang cuma diberi kesempatan seumur jagung, pelatih-pelatih timnas sebelumnya terhitung berhasil membawa nama Indonesia di masing-masing tingkatan umur.

Luis Milla, meski belum menghadirkan trofi, cukup berhasil membawa timnas U-22 ke semifinal SEA GAMES 2017 dan meraih medali perunggu. Selain permainan tim, sikap Luis Milla pun mampu memikat hati publik sehingga ia dikenang sebagai salah satu pelatih asing timnas terklop (saya tidak menggunakan kata "terbaik"). Almarhum Alfred Riedle adalah satu diantaranya.

Indra Sjafri tak perlu dibantah lagi. Polesan tangannya menghasilkan permainan atraktif timnas U-19 sejak generasi Evan Dimas hingga Egy Maulana Vikri. 

Permainan ala tiki-taka Spanyol bisa dipertontonkan anak-anak asuhannya. Bergiliran pemain binaanya pun mencicipi klub-klub Eropa. Dua gelar Piala AFF U-19 di tahun 2013 dan Piala AFF U-22 di tahun 2019 menjadi bukti sahih pekerjaan Indra.

Satu lagi pelatih timnas di tingkat U-16 adalah Fakhri Husaini. Secara perlahan tapi pasti, ia berhasil membentuk timnas remaja yang kuat di Asia Tenggara. Memulai karir pelatih timnas pada 2014, ia pun menghadiahkan Piala AFF U-16 2018 bagi pecinta sepakbola nasional yang haus prestasi.

Sayang, belum menguap euforia juara-juara AFF tersebut, Fakhri dan Indra yang bergeliman presetasi itu dilengserkan PSSI. Aneh tapi nyata, begitulah sepakbola nasional. 

Sementara Luis masih membuka peluang kembali menangani timnas senior, PSSI ternyata lebih tertarik dengan janji nekat Shin Tae-yong yang menjamin trofi AFF 2020. 

Garansi yang jarang diucapkan pelatih-pelatih hebat sekali pun. Sebab semua tahu, juara dalam kompetisi apalagi turnamen itu sangat sulit diprediksi dan membangun tim itu butuh proses. Luis Milla bahkan berkomentar bahwa adalah kebohongan jika seorang pelatih berani menjanjikan trofi, dalam waktu singkat pula!

Demikianlah sejarah telah ditulis. Shin Tae-yong menduduki kursi pelatih kepala timnas Indonesia sejak akhir Desember 2019. Anehnya, diralat..., menariknya, dia diberi mandat menduduki tiga kursi sekaligus! Pelatih kepala timnas senior, U-19 dan U-16. 

Luar biasa... padahal, di negara-negara manapun, lazimnya masing-masing tingkatan usia itu ditanggungjawabi oleh orang yang berbeda, baik di timnas maupun klub. 

Fokus tentulah alasan utamanya. Sistem pelatihan tentu berbeda di setiap tingkatan usia. Belum lagi soal fokus pada hal psikis dan manajemen manusianya. 

Sederhana saja, mengapa negara-negara dan klub-klub besar dunia menunjuk pelatih berbeda setiap tingkatan usia jika lebih baik disatukan?

Saya tidak membahas kualitas teknis seorang Shin Tae-yong yang bisa saja lebih baik. Tetapi aksi nekatnya menjamin trofi AFF 2020 demi meraih pekerjaan sebagai pelatih timnas, menjadi catatan tersendiri dalam aspek etika. Untuk sementara ia "selamat" karena turnamen tersebut dibatalkan.

Keputusan PSSI mendepak Indra dan Fakhri yang baru saja meraih prestasi juga sangat disayangkan. Kebijakan aneh yang sulit dicari alasan yang memuaskan. Biasanya pelatih didepak karena tidak memenuhi target dan bukan sebaliknya. Tak heran jika Fakhri menolak posisi asisten dan belakangan Indra pun sempat mengaku tidak cocok dengan pelatih Korea itu.

Momentum tim yang sudah dibangun oleh kedua pelatih pribumi itu akhirnya berantakan. Ujicoba timnas U-19 di Kroasia menjadi preseden. 

Meski berkali-kali PSSI meminta masyarakat untuk tidak melihat hasil di Kroasia, tetapi permainan timnas jelas terlihat menurun dibanding saat ditangani Indra Sjafri ketika berujicoba di eropa pada 2017 silam. Yah, soal permainan, subyektif sih, tetapi skor adalah objektif.

Bulgaria dan Kroasia memang lawan beda kelas. Namun Timnas U-19 dulu juga menghadapi lawan-lawan beda kelas seperti Brasil, Skotlandia, dan Ceko dan skornya lebih ketat.

Sistem pelatihan dan skema permainan Shin Tae-yong tentu berbeda dengan pelatih sebelumnya. Keberhasilannya membesut timnas dan klub Korea belum tentu juga bisa di-copy-paste ke Indonesia. 

Hal yang sama berlaku juga bagi Joachim Low atau katakanlah Jurgen Klopp, seandainya mereka menangani Timnas. Cara menangani pemain top Jerman tentu tak sama dengan menangani pemain top Indonesia.

Bukan koleksi trofi seorang pelatih yang jadi jaminan keberhasilan melatih di Indonesia. Tetapi kemampuannya mengenal karakter pemain Indonesia, adaptasinya dengan iklim sepakbola Indonesia, lalu kemampuannya meracik tim dengan memaksimalkan potensi yang ada, menjadi kuncinya. Fakhri, Indra, dan Luis telah menunjukkan itu.

Mari lihat fakta terakhir, Fakhri Husaini, Indra Sjafri, Luis Milla dan terakhir Shin Tae-yong, sama-sama telah pernah mengkritik PSSI soal manajemen, ketaatan kontrak dan profesionalismenya dalam membangun sepakbola Indonesia. Hmm... Kelihatan tidak, titik masalahnya? Ah, payah cakaplah, kata orang Medan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun