Dirgahayu Republik Indonesia! 17.08.2020.
Tujuh puluh lima tahun Indonesia telah merdeka. Â Berdiri dengan pemerintahan sendiri yang sepenuhnya dikuasai oleh pribumi. Pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan, rasa bangga terhadap tanah air diekspresikan dengan berbagai cara. Upacara bendera, dekorasi, perlombaan, hingga cara-cara milenial seperti status medsos, profil picture, meme, dan hal-hal elektronik lainnya, mewarnai "tujuh belasan" dengan nuansa nasionalisme.
Kita sungguh harus berbangga hati. Betapa tidak? Ada negara seluas dan semajemuk ini yang bahkan terpisah-pisah oleh lautan, lembah dan gunung tetapi merupakan satu kesatuan selama tujuh puluh lima tahun! Kita juga patut berbangga hati karena Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara boneka yang dimerdekakan bangsa lain atau berdiri gagah dibawah sistem pemerintahan bangsa asing.
Ada ungkapan lama yang mengatakan: "Biar jelek tetapi punya sendiri", ungkapan yang lain berbunyi: "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang". Kita boleh merasa bangga karena meskipun tidak sementereng negara lain, Indonesia memiliki kedaulatannya yang absolut.
Bangga... Ya, itu yang ditanamkan pada anak-anak Indonesia sejak duduk di Sekolah Dasar. "Indonesia negeri yang kaya, kolam susu, tongkat dan batu jadi tanaman, penduduknya ramah dan tenggang rasa," kata-kata itu selalu digaungkan. Memang, kemana kaki melangkah, kekayaan terhampar di depan mata. Budaya, flora dan fauna, alam, mineral, kuliner, sebutkan apa saja, hampir semuanya kita punya. Gemah ripah loh jinawi.
Nasionalisme memang suatu kewajiban dan NKRI adalah harga mati. Namun di sela-sela euforia Hari Kemerdekaan, marilah kita sisihkan waktu untuk berefleksi. Di antara rasa bangga, sisakan sedikit ruang untuk sebuah perenungan, apa yang kita banggakan? Apakah kebanggaan kita itu chauvinisme?
Chauvinisme adalah paham tentang rasa bangga, cinta, kesetiaan terhadap bangsa namun dalam nuansa yang berlebihan tanpa mempertimbangkan pandangan orang lain sebagai penyeimbang. Chauvinisme juga bisa diartikan fanatisme terhadap bangsa dan merendahkan bangsa lain.
Ah, tidak. Rakyat Indonesia tentu tidak mempraktikkan chauvinisme. Bukankah kita adalah bangsa yang sangat beradab, berhikmat dan bertakwa? Kita juga masyarakat yang santun, menghargai perbedaan, dan mencintai kerukunan. Kita adalah masyarakat yang memiliki rasa sosial tinggi dan bukan individualistis seperti masyarakat di negeri lain.
Kita bangga karena kita memang hebat. Buktinya apa? Jelas, kita memiliki segala sumber daya yang kita butuhkan sehingga tidak perlu tergantung pada bangsa lain. Tanah kita subur, apa saja bisa tumbuh, sehingga kita tidak perlu membeli bahan makanan pokok dari bangsa lain.
Kita juga bangga dengan keanekaragaman hayati nusantara sehingga kita selalu menjaganya. Kita bukan penduduk yang suka memburu satwa untuk kepuasan batin. Sehingga hewan-hewan lucu dan indah beragam itu bisa kita nikmati setiap hari di alam bebas sekitar kita.
Kita tidak sudi menjual satwa langka kita untuk orang asing atau mengurungnya hanya untuk kenikmatan mata memandang. Kita juga tidak rela memusnahkan hutan yang ditumbuhi beragam hayati itu hanya untuk menggantinya dengan tanaman sejenis demi harta warisan untuk anak dan cucu kita.
Kita adalah bangsa yang menghormati para pendatang yang ingin hidup bersama-sama dengan kita. Orang-orang yang meminum air dari tanah dan menumpahkan darah di tanah yang sama. Kita tidak membeda-bedakan hak sesama penduduk berdasarkan warna kulit atau caranya menyembah Tuhan. Kita suka menegur setiap orang yang kita temui di jalan untuk sekedar berbasa-basi atau untuk memastikan dia baik-baik saja.
Kita adalah bangsa yang hebat sehigga kita menaruh respek terhadap bangsa lain, apalagi saudara tetangga. Kita tidak suka mengucapkan kata-kata hinaan atau merendahkan ras bangsa lain karena kita sadar bahwa setiap bangsa memiliki harkat dan martabatnya masing-masing.
Kita adalah orang-orang yang mencintai kemanusiaan seperti yang diajarkan agama, jauh diatas kepentingan politik apalagi hanya karena uang. Kita selalu mengutamakan nilai kemanusiaan sehingga tidak mungkin menganiaya sesama hanya karena berbeda keyakinan atau pilihan politik. Tidak, itu jelas bukan kita.
Kita suka hidup berdampingan dengan orang lain dalam damai. Kita tidak akan mengambil kepunyaan orang lain yang bukan hak kita. Bila ada orang yang kekurangan, kita akan dengan senang hati membagi kelebihan kita. Mata kita tidak silau dengan harta orang lain sehingga tak mungkin kita mengusiknya.
Kita, orang Indonesia, adalah manusia-manusia yang berakhlak tinggi. Kita suka beribadah dan merayakan hari-hari besar keagamaan sepanjang tahun. Tak heran jika kita taat menjalankan perintah-perintah Tuhan dan menjauhi larangan-laranganNya. Tentu saja kita juga adalah orang-orang yang jujur. Kita bukan tipikal orang yang suka menipu ketika berdagang atau memanipulasi dokumen-dokumen demi keuntungan pribadi.
Agama juga telah mengajarkan kita untuk bersabar. Oleh karenanya, kita terbiasa untuk menunggu giliran. Kita malu kalau keberadaan kita mengganggu kepentingan orang lain apalagi kepentingn umum. Entah itu di jalan, di depan mesin ATM atau dimana saja kita beraktivitas.
Siapa bilang kita individualistis seperti budaya di negara lain itu? Kita selalu peduli pada orang di sekitar! Jika terlihat orang yang kesusahan, kita pasti menghampiri dan menawarkan bantuan. Bukan hanya waktu dan tenaga, materi pun siap kita berikan. Anak-anak, orang tua, orang difabel selalu kita utamakan dalam setiap hal di kehidupan sehari-hari.
Kita adalah masyarakat yang tidak suka menutup mata pada kesusahan orang lain. Sebaliknya, kita juga tidak suka mengurusi kesenangan orang lain. Seperti itulah kehidupan bangsa yang hebat.
Sebentar... Kok rasanya saya pernah menyaksikan orang-orang yang mempraktikkan itu semua... Tetapi dimana ya...?Â
Ah, pasti itu di Indonesia. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H