Hal yang membuat gregetan adalah bahwa pada kasus-kasus tertentu, kebijakan publik bisa dengan mudahnya dibuat kemudian diganti. Sering pula terkesan tanpa riset yang matang, analisa yang dalam, boro-boro keterlibatan publik dalam pembuatannya. Saya memilih kata “terkesan” untuk merefleksikan kesan yang ditangkap dari kritikan masyarakat secara umum. Bukan hanya di Indonesia, kritikan memang jodohnya kebijakan publik di negara manapun di dunia terlepas dari kritikan itu dikeluarkan atau hanya dibisikkan dalam hati. Wong publik itu terdiri dari banyak kepala, kan? Lumrahlah kalau masing-masing punya pemikiran sendiri-sendiri.
Baca juga: Jokowi di Antara Produk Kebijakan Publik yang Sering "Plintat-Plintut"
Tetapi perlu diingat bahwa perancangan kebijakan publik juga punya model dan langkah-langkah yang sudah diuji para ahli di seluruh dunia. Seperti tahapan-nya William Dunn, delapan langkah-nya Eugene Bardach, kerangka-nya John Kingdon dan teori-teori yang lain. Kebijakan publik yang baik lahir proses yang baik, bukan kebijakan tiba-tiba atau suka-suka pemimpin.
Hal-hal inilah yang kemudian dipelajari di bangku kuliah. Seperti di program Master of Public Policy Victoria University of Wellington misalnya, materi pelajarannya antara lain tentang pemerintahan, praktik kebijakan, analisa kebijakan, dan kebijakan ekonomi, meski juga mempelajari manajemen publik.
Penting untuk Siapa?
Dokter tentu harus menguasai ilmu medis, bukan? Pilot harus menguasai ilmu aviasi. Tak ada bedanya, para policymaker juga harusnya paham ilmu kebijakan publik. Di negara-negara maju, policy analyst dan policy advisor telah menjadi profesi yang menarik.
Policy analyst adalah orang yang bekerja dengan policymaker untuk perancangan sebuah kebijakan. Sementara policy advisor adalah orang yang memberikan masukan kepada policy analyst.
Biasanya seorang policy analyst dibantu tim yang terdiri dari beberapa policy advisor. Lingkup pekerjaan mereka seputar riset, analisa, konsultasi dengan stakeholders dan membuat laporan, baik kepada pemerintah maupun swasta.
Bukan berarti para policymaker lantas tidak perlu memahami ilmu kebijakan publik. Itu sama saja dengan pilot yang menyerahkan semua urusan kepada co-pilot atau dokter bedah menyerahkan tindakan kepada asisten dan paramedis.
Apalagi untuk iklim birokrasi Indonesia yang belum akrab dengan profesi policy analyst dan policy advisor (namun biasa dengan istilah konsultan). Oleh karena itu, selain untuk pribadi yang tertarik menjadi konsultan, para pejabat publik, aparatur negara, dan anggota legislatif "semedannya" (baca: seyogianya) mempelajari kebijakan publik agar mahfum pekerjaannya.
Karena para pembuat kebijakan memiliki anugerah untuk berkontribusi terhadap pengembangan berbagai bidang tanpa harus ahli di bidang-bidang tersebut. Sebaliknya, bisa pula membuat merana banyak orang.