Jangan tanya pelampung. Meski sejak peristiwa tenggelamnya KM Peldatari tiga tahun sebelumnya seluruh kapal penumpang di Danau Toba diwajibkan membawa life jacket, tetapi letaknya entah dimana dan aku sangat yakin jumlahnya tak sampai separuh jumlah penumpang yang ada di atas kapal saat itu.
Tak berapa lama kapal satu lagi yang juga disewa oleh rombongan kami tampak di kejauhan. Mereka mendekat dan akhirnya merapat untuk kemudian mengevakuasi sebagian penumpang dari kapal kami. Kapal itu pun menarik kapal yang kami tumpangi hingga merapat ke pelabuhan Parapat.
Apakah kapal yang kami tumpangi memiliki manifest? Tentu tidak karena itu kapal carteran. Dan juga tidak untuk kapal-kapal penumpang tradisional lainnya. Kecuali kapal feri, semua kapal-kapal di Danau Toba tidak memiliki manifestasi penumpang karena mereka membayar setelah berada di atas kapal. Ya, persis seperti angkutan perkotaan alias angkot.
Tidak perlu juga berkomentar muluk-muluk. Di Danau Toba itu, kapal adalah transportasi rakyat dari satu tempat ke tempat yang lain, tentu tidak menggunakan tiket apalagi fotokopi KTP. Untuk beberapa tempat seperti Tuk Tuk, Balige, atau Silalahi misalnya, kapal ngetemdan memanggil siapa saja yang mau naik untuk menumpang lalu berangkat.
Jika menelusuri lebih jauh ke "arah hulu", konstruksi kapal wisata di Danau Toba mungkin perlu ditinjau apakah telah melalui uji teknis? KM Sinar Bangun diketahui memiliki tiga lantai! Apakah ketinggian badan kapal sudah mempertimbangkan lebar dan berat bagian bawah kapal serta bobot yang sesuai dengan kapasitas mesin?
Ah, sudahlah, itu terlalu jauh untuk saat ini. Nanti kita pertanyakan pula apakah pelabuhan di Danau Toba mengeluarkan izin setiap kali kapal-kapal hendak berlayar di sana. Coba kita kembali berpikir tradisionil untuk alat transportasi tradisionil yang tak beda jauh dengan angkot ini.
Saya tentu berpendapat bahwa standar keselamatan adalah soal lain lagi. Kisah saya diatas memang terjadi delapan belas tahun tahun lalu tetapi kondisinya masih relevan dengan saat sekarang saking tidak adanya perubahan pada kapal-kapal di Danau Toba terkait kelengkapan dan gaya operasionalnya.
Radio komunikasi belum juga digunakan, life jacket juga tidak diwajibkan, apalagi flare gun. Dengan segala kesederhanaan dan pola tradisionalnya, semestinya keselamatan tetap harus diperhitungkan oleh para pemilik kapal.
Danau terbesar di Asia Tenggara itu bukanlah sekelas sungai atau danau biasa. Kedalamannya saja diperkirakan mencapai 500 meter dengan luas lebih dari 1.100 kilometer persegi ditambah cuaca yang sering berubah-ubah.
Ayah mertua saya saja beberapa kali melihat putaran angin semacam puting beliung di tengah danau. Belum lagi mitos-mitos mistis yang beredar di tengah masyarakat lokal. Sudah sepantasnya seluruh elemen transportasi di danau ini menganggap serius urusan jiwa manusia. Jika sepeda motor diwajibkan menggunakan helm dan mobil mengenakan sabuk pengaman, maka kapal di air haruslah dilengkapi dengan pelampung.
Jika radio komunikasi bisa digantikan telepon seluler sehingga diabaikan penggunaannya, setidaknya ada pistol suar untuk keadaan darurat. Jika manifest penumpang belum bisa dilakukan, paling tidak lifejacket atau lebih minimalis lagi, tube (ban dalam mobil atau truk) yang banyak disewakan di pinggir Danau Toba, haruslah tersedia sedikitnya separuh jumlah penumpang.